24. Sebuah Akhir

4.8K 888 101
                                    


Angin malam serasa menusuk setiap jengkal kulit saat Sastra berdiri, menunggu di sebuah jalan setapak, jauh dari pemukiman desa dan hanya dikelilingi persawahan. Di bawah lampu penerangan jalan yang hampir mati dan ngengat-ngengat terbang mengitari. Dia menunggu seseorang datang. Yang berjanji akan menemui karena ingin menyampaikan satu hal penting.

Tak berapa lama.

Suara deru motor memecahkan kesunyian malam. Sastra tidak perlu menebak siapa gerangan yang melajukan motor kearahnya. Dia adalah Syam Athala. Lelaki itu tampak menyadari keberadaan Sastra yang berdiri di bahu jalan lalu menghentikan motor tepat di depannya.

Syam melepaskan helm, turun dari motor dan berjalan menuju Sastra.

"Darimana saja kamu?" tanya Sastra langsung.

Sastra memperhatikan penampilan Syam yang kacau dan berantakan. Terlebih lagi Syam tampak gelisah, dia terus mengawasi jalan di sekitar mereka.

"Angi khawatir karena hp kamu nggak bisa dihubungi. Syam darimana saja kamu? Apa terjadi sesuatu?" selidik Sastra curiga.

"Ceritanya panjang nanti gue ceritakan, tapi Angi baik-baik saja, kan? Lo menepati janji untuk menjaganya, kan?" jawab Syam, lebih mengkhawatirkan perempuan yang dia cintai dibandingkan dirinya sendiri.

"Jangan khawatir, Angi dalam penjagaan baik. Mang Cecep bersamanya. Ada apa? Kenapa kamu memanggil saya kemari? Kamu bilang ingin mengatakan suatu yang penting."

Syam melepaskan tas ransel yang dia kenakan lalu memberikannya pada Sastra.

"Buka," suruhnya singkat.

Sastra menuruti perintah Syam untuk membuka tas ransel. Kedua alisnya tertaut saat melihat di dalamnya terdapat berkas-berkas dalam bentuk bundelan. Dia mendongak dan menatap Syam untuk meminta jawaban.

"Itu adalah bukti yang bisa membantu lo untuk menghentikan pembangunan Villa Heaven," jawab Syam.

"Bukti?"

Sastra lekas mengambil satu berkas yang ternyata berisikan kumpulan penjualan tanah di desa daun yang dilakukan oleh Athala. Dan ada beberapa surat pernyataan warga desa yang terpaksa menjual tanah mereka untuk membayar hutang pada Athala. Bunga pinjaman yang diberikan sangat tinggi. Tidak mungkin warga desa bisa membayarnya.

"Syam? Kamu..."

Sastra tidak mempercayai tindakan Syam.

"Gue tau. Gue anak durhaka! Gue melaporkan bokap gue sendiri. Gue menghancurkan karir ayah gue sendiri. Tapi karena dia adalah bokap gue, maka sudah menjadi tanggung-jawab gue untuk menghentikannya." Syam menghembus napas dengan berat. "Gue nggak punya pilihan. Kalau dibiarkan terus, bokap gue akan melakukan lebih daripada ini."

"Lalu apa yang ingin kamu harapkan dari saya?" tanya Sastra. "Apa kamu ingin saya menyerahkan semua bukti ini ke pihak berwajib? Kamu yakin?"

Syam diam, mengepalkan kedua tangannya.

"Saya bisa mengembalikan berkas dan bukti ini ke kamu kalau tidak yakin," sambung Sastra. Dia memasukan berkas yang dia baca ke dalam tas lalu memberikannya ke Syam. "Anggap saja saya tidak melihat ini."

Tangan Sastra terulur cukup lama.

"Untuk kasus penjualan tanah secara ilegal bisa masuk ke ranah hukum perdata, ya kan? Bisa damai kalau bokap mengembalikan hak kepemilikan pada warga sebelumnya. Memberikan mereka ganti rugi. Sehingga pidana penjara bisa dihindari, betul, kan?" ujar Syam, dia menatap Sastra dengan ekspresi gamang dan putus-asa. "Tapi untuk..."

Sastra coba memahami arah pembicaraan Syam.

"Untuk kasus penghasutan pembunuhan maksudmu?" terka Sastra tepat, wajah Syam langsung menegang. "Penghasutan pembunuhan yang dilakukan Pak Athala ke saya. Itu masuk dalam kategori hukum pidana dan Pak Athala bisa dipenjara."

Sastra Untuk Pelangi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang