29. Perasaan Angi

5K 816 223
                                    


Angi menatap lukisan yang dibuat saudara kembarnya, Senja. Lukisan yang digambar dengan penuh harapan di tengah dia berjuang melawan penyakit kanker darahnya beberapa tahun lalu. Tentang pelangi di sebuah desa yang ingin Senja lihat sebelum menutup mata.

Dan hari ini...

Angi mendongakkan kepala dan selekas itu kedua matanya berair. Rasa haru menyeruak di dada saat mimpi Senja yang tidak bisa terwujudkan hari itu, sekarang benar-benar terjadi. Warna-warna cerah yang sangat mustahil tergores indah di pemukiman kumuh, sekarang menjadi warna paling mencolok dan mempesona di desa kelahiran mereka. Setelah begitu banyak cobaan, hinaan dan fitnah yang Angi dapatkan, akhirnya Angi berhasil membuat mimpi Senja menjadi nyata.

Kampung warna warni diresmikan hari ini.

"Kita berhasil, Senja," ujar Angi, dengan suara gemetar menahan tangis. "Kamu liat kan? Pelangi benar-benar ada di desa daun, nggak perlu nunggu hujan turun, nggak perlu kamu berlari ke bukit sehabis hujan dan menatap langit. Pelangi ini akan selalu ada untukmu."

Dia mendongakkan kepala pada langit biru.

"Bahagia di sana ya, Angi akan terus berusaha menjaga mimpi kamu. Insya Allah kita akan membuat lebih banyak senyuman untuk mereka."

Angi menatap pada warga yang berkerumunan di depan pintu masuk kampung warna warni, sangat antusias, tampak bahagia. Seakan sedang menyongsong sebuah harapan baru, untuk masa depan mereka yang suram. Untuk mengubah roda kehidupan ekonomi mereka menjadi lebih baik.

Kemudian pandangan Angi jatuh pada sosok yang paling mencolok di antara kerumunan warga, pada lelaki yang mengenakan seragam PNS. Pada lelaki yang membantu mewujudkan mimpinya menjadi nyata, Sastra.

Rangkulan Angi rasakan di pundaknya. Dia menoleh. Caca datang menghampiri.

"Ya Allah, Angi. Alhamdulillah hari ini kampung warna warni diresmikan, gue terharu, perjuangan lo ternyata nggak sia-sia" seru Caca. Kedua matanya turut berair. "Dan gue berharap kampung wisata ini bener bisa jadi penghasilan tambahan buat warga desa."

Angi tersenyum simpul.

"Iya, amin, semoga berkah."

"Tapi kok, muka lo gitu amat," tanya Caca memperhatikan ekspresi Angi.

"Gitu amat gimana?"

"Muka lo ada yang ganjel gitu! Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan keputusan Sastra yang berhenti setelah peresmian kampung pelangi?" terkanya.

Angi diam.

"Tebakan gue tepat, kan? Lo galau soal Sastra lagi, kan?" Caca menghela napas dengan berat. "Ngi, sebenarnya apa sih yang membuat lo berat mengakui, kalau lo sebenarnya peduli sama Sastra, kalau sebenarnya di hati lo cuma ada Sastra. Bukan Syam, atau bukan siapapun."

"Lo tau itu?" Angi menatap Caca.

"Jangan kan gue seorang! Syam pasti juga sudah tau kalau perasaan lo ke dia itu cuma sebatas seorang sahabat, lo anggep dia itu seperti keluarga. Tapi Sastra itu lain cerita..." Caca mengelus kepala Angi sejenak. "Dia cinta pertama lo, kan? Cuma Sastra yang bisa, bikin bestie gue jadi galau kayak gini, kalau bukan suka, perasaan apalagi?"

Senyum getir tersungging di bibir Angi.

"Gue bingung Ca. Gue kesulitan berdamai dengan masa lalu di antara kami. Luka itu masih terasa sakit, lo tau sendiri, kan? Gimana gue berjuang mati-matian untuk bangkit kembali dari trauma kehilangan? Setelah kehilangan Senja, kemudian gue kehilangan Sastra. Gue hancur banget waktu itu..."

"Gue ngerti dan gue tau ada beberapa luka yang nggak bisa sepenuhnya sembuh, tapi Ngi, apa lo rela biarkan Sastra pergi?" Caca memegang kedua pundak Angi dan menatapnya. "Ini kesempatan lo, Ngi. Anggap aja ini adalah a sign. Pertanda dari Allah, kalau lo harus mempertahankan Sastra."

Sastra Untuk Pelangi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang