26. Untuk Sekarang Selamat Tinggal

4.8K 860 222
                                    


Sastra kembali di Desa Daun kala pagi menjelang. Setelah menyempatkan diri untuk shalat subuh di Masjid terdekat, dia memilih berjalan kaki untuk kembali ke rumah kontrakannya. Tak ingin membangunkan para warga senggol dengan kebisingan motor Syam, dia menitipkan motor itu pada penjaga masjid, walaupun dia bisa membayangkan Syam akan marah besar atau mengomelinya nanti.

"Lo nitipin motor gue di masjid? Gila! Kalo ada yang nyuri gimana? Motor itu kesayangan gue. Nggak bisa dibandingkan apapun! Gue belinya pake duit sendiri. Hasil jerih payah gue sendiri. Ngebengkel! Kenapa? lo nggak percaya gue ngebengkel? Yah, yah Lurah Sastra terhormat. Sepertinya elo perlu lebih banyak lagi belajar dunia luar. Terlahir kaya sejak kecil, mana lo ngerti soal beginian."

Sastra terkekeh, entah kenapa omelan khayalan dari Syam memenuhi kepalanya. Sangat relate dengan karakter Syam yang omongannya selalu pedas dan blak-blakan.

"Pagi Desa Daun," sapa Sastra, pada alam indah di hadapannya.

Sastra memanjakan matanya dengan langit pagi yang keemasan khas desa daun, di mana bagian timur, matahari mulai perlahan-lahan merangkak naik, memberikan kehangatan setelah malam dingin menyelimuti. Sastra memasukkan kedua tangannya ke saku celana, seraya menarik nafas panjang berkali-kali, mengisi paru-parunya dengan aroma embun yang membasahi pepadian.

Tak terasa, sudah memasuki musim panen.

Hamparan hijau persawahan dalam beberapa bulan sudah berubah menguning. Seperti karpet emas yang membentang di sepanjang jalan, padi-padinya menunduk, berat berisi, dan saat angin menyapu, terdengar gemerisik merdu yang menenangkan hati.

"Aku pasti akan merindukan tempat ini suatu hari nanti. Semoga Engkau mengizinkan aku kembali." Sastra mendongakkan kepalanya pada langit. "Bolehkan Allah? Aku masih diberikan kesempatan untuk itu, ya kan?"

Desa Daun sudah membuatnya jatuh hati, walaupun dia hanya tinggal beberapa bulan, Sastra mulai terbiasa dengan kehidupan pedesaan. Hal sederhana saja, seperti dering lonceng sepeda saat para warga menyapanya di jalan, emak-emak berkumpul di pos kampling—selalu menyeret Sastra untuk mampir, dan menyuapi mulutnya dengan banyak makanan, atau para bapak yang sibuk membajak sawah dengan kerbau, namun tak berlama karena cuaca panas, mereka memilih tidur di saung, menutupi wajah mereka dengan topi jerami. Dan saat sore menjelang, anak-anak pulang dari sekolah, mereka bermain latto-latto, membuat kebisingan candu, dan langit juga seketika dipenuhi layang-layang berbagai warna. Sungguh, di kota Jakarta dia tidak menemukan nuansa ini.

Ponsel Sastra bergetar.

Dia tidak perlu menebak siapa yang menelponnya. Tidak lain adalah adiknya, Satrio. Sebenarnya Sastra malas menjawab, karena dia akan mendengar omelan Satrio lagi, tapi daripada adiknya itu menyusul ke desa daun. Dengan berat hati terpaksa menjawab.

"Assalamualaikum, aku menerima kabar kalau Athala diperiksa polisi. Itu berati masalah di Desa Daun selesai. Dan sekarang Norman Wijaya juga terbukti dengan kasus penggelapan dana perusahaan serta pajak. Jadi kakak pulang. Aku bisa menjemput kamu sekarang." Satrio langsung mengutarakan maksud dan keinginannya.

Sastra tersenyum. "Kenapa aku punya adik yang bawel banget yah?"

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Kak. Aku sudah cukup bersabar dan menahan diri untuk masalah ini."

"Tio." Sastra menyela. Wajahnya murung. "Apa menurut kamu, aku munafik? Karena terlahir dari keluarga kaya, nggak pernah merasa kekurangan sedikit pun sejak kecil, apa yang aku lakukan sekarang hanya sebagai kepuasan batin?"

"Kenapa kakak bicara seperti itu?"

"Cuma. Aku kepikiran seperti itu aja."

Terdengar hembusan napas lelah dari seberang telpon. Sepertinya Sastrio mengenal betul watak Sastra yang melonkolis, mudah baperan, yang merasa bersalah pada satu hal.

Sastra Untuk Pelangi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang