8. Sandal Bakiak Udin

6.7K 1K 108
                                    


Angi tampak seperti seorang pencuri, mengintip dari balik pagar rumahnya sendiri. Sesekali matanya jatuh pada layar ponsel, membaca pesan terakhir dari Randi adiknya.

"Babeh ke kebun. Aman. Pulang."

Singkat dan padat.

Angi tau ini gila! Mempercayai perkataan Randi padahal dia dan adiknya tidak pernah akur, layaknya tikus dan kucing, mereka berdua tidak bisa dikategorikan sebagai support system yang baik. Tapi Angi tidak punya pilihan. Dia harus pulang, paling tidak mengambil baju ganti lalu bermalam lagi di rumah Caca.

Namun sepertinya Randi kali ini berkata jujur. Angi tidak melihat motor bebek Udin ke pekarangan rumah dan itu berati Babeh pergi ke kebun.

"Bismillah..."

Angi berjalan mengindap-indap memasuki pekarangan rumah, sesekali dia memasang radar, mendeteksi keberadaan Udin, hatinya semakin yakin Babeh tidak di rumah saat melihat sandal jepit swallow usangnya tidak ada di depan pintu.

Dia masuk ke dalam rumah tanpa ragu lagi.

"Assalamualaikum."

Angi mengucapkan salam.

"Mah, Angi pulang! Tapi cuma bentar, Angi mau nginap lagi di rumah Caca. Kasian, dia sendirian, Enyak sama Babehnya ke luar kota, ngerayain anniversary pernikahan mereka di villa," ujarnya melepaskan sandal.

Angi menangkap keberadaan Halimah duduk di sofa. Ibunya menggelengkan kepala, memberikan isyarat dengan lirikan mata.

"Mamah kenapa?" tanya Angi bingung.

Halimah memonyong-monyongkan bibir. Lirikannya mengarah ke belakang pintu. Seketika saja tubuh Angi mendingin bahkan bulu romanya juga berdiri.

"Perasaan Babeh, orangtua Caca tadi di kebun, nyari singkong buat makan. Kagak ke luar kota! Dan boro-boro mereka nginap ke villa, hutang ke Babeh aja belum dibayar. Ngibulnya kebangetan Ngi!"

Angi mengenal suara cempreng itu.

Dia berbalik.

"Anak nakal!" teriak Udin seraya mengayunkan sapu lidi.

"Astagfirullah hal adzim Babeh!" pekik Angi.

Angi melakukan gerakan gesit. Dia melompat ke samping sebelum sapu lidi mengenainya. Punggung Angi menghantam tembok, dia menatap takut pada Udin yang tampak murka dengan sapu lidi mengacung ke arahnya.

"Beh, Angi bisa jelasin. Mari kita musyawarahkan ini dengan baik-baik. Ingat Pancasila sila ke-4! Babeh selaku Pak RT di kampung daun harus mendahulukan bermusyawarah setiap kali ada masalah." Angi terus menghindar saat Udin mengayunkan sapu lidinya lagi.

"Jangan sok-sokan nasihatin orangtua. Kemari!" geram Udin. Dia melompat dengan gesit—walaupun mengenakan sarung—dari atas meja, tempat dia bersembunyi sebelumnya. "PELANGI AZKIA! KEMARI BABEH BILANG!"

"Papah! Tahan dulu emosinya. Kasian Angi dia baru pulang," ucap Halimah menengahi, dia mengekori Udin dan Angi yang berlarian di dalam rumah.

Suara keributan di rumah Udin menarik perhatian tetangga, para emak keluar rumah, berpura-pura menjemur pakaian atau menyapu halaman, menguping dan mencaritahu apa yang membuat Ketua RT mereka marah.

"Salah Angi apa Beh?" kata Angi. Dengan napas ngos-ngosan.

"Pake nanya salah kamu apalagi?"

"Angi beneran nggak tau!"

Udin mengacungkan sapu lidinya.

"Kamu pikir Babeh nggak tau kamu disiram cat sama warga? Kamu pikir Babeh nggak tau kalau ada pesan yang dikirim atas nama Pak Lurah dan bilang kamu cewek gila dan membawa pengaruh buruk buat desa? BABEH TAU ANGI!" teriaknya.

Sastra Untuk Pelangi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang