t u j u h b e l a s

16.2K 1.4K 125
                                    

Marvin menangis, tentu saja. Menjadi Marvin pasti akan bersedih, seseorang yang sangat dekat dengannya harus pergi selamanya. Dunia ini memang sifatnya sementara, tapi ketika kenyataan itu menampar rasanya sangat sedih dan menyakitkan.

"Vin,"

"Hiks, Kak Ai beneran gak bisa idup lagi Bang?"

Manuel juga tidak bisa berbohong untuk tidak mengeluarkan air mata kesedihan atas meninggalnya Airin. Dia memeluk Marvin begitu erat. "Abang mohon, kamu jangan tinggalin Abang kayak Airin ya?"

Marvin mengangguk dengan wajah memelas, dia menenggelamkan wajahnya di dada bidang Manuel.

"Biar pihak kepolisian yang urus." ucap Candra.

Mahen mengangguk setuju, dia juga sudah lumayan puas menghukum Althan hingga tak berdaya malam itu. Biarkan hukum pemerintah yang menangani sekarang.

"Ayok, kita perlu istirahat. Besok masih beraktivitas."

Candra dan Megantara mengobrol dengan pihak polisi. Sedangkan Mahen memperhatikan dua bersaudara itu.

Jenazah Airin di temukan dan tidak memakai sehelai benang pun, sudah menjadi tengkorak jadi akan di autopsi terlebih dulu sebelum dikuburkan dengan layak.

"El," panggil Mahen.

Manuel menggendong tubuh Marvin dan membawa ke dalam mobil, dia menyuruh Marvin untuk diam disana dan berusaha menghubungi Faiz.

"Jagain adek gue."

Manuel perlu mengobrol dengan pihak polisi, dia tidak mau Marvin terlibat. Biarkan adiknya tenang dan tidak memikirkan apapun itu menyangkut Airin.

"Pak Mahen,"

"Kenapa?"

Marvin mengusap air matanya, dia mengerjap lucu. "Pak Mahen gak sedih?"

Mahen tersenyum tipis, dia mengusap pipi Marvin yang begitu basah akibat air mata. Posisinya, Mahen berdiri diluar dekat pintu mobil dan Marvin terduduk di kursi penumpang. Pintu mobil itu terbuka lebar.

"Saya sedih tapi saya senang."

Marvin mengernyit kebingungan. Bahasa yang Mahen pakai sangat berbelit. "Jadi sedih atau seneng?"

"Saya seneng karena Rin bisa dikuburkan dengan layak, saya sedih karena Rin pergi untuk selamanya."

Marvin mengulum bibirnya, matanya kembali berembun. "Aku gak sempet ucap selamat tinggal."

Mahen tersenyum memaklumi. Satu hal yang Mahen simpulkan untuk Marvin, dia cengeng.

"Udah jangan nangis, nanti Kak Ai ikut sedih disana."

Marvin memeluk perut Mahen, menenggamkan wajahnya di perut berotot Mahen. Sempat terkejut, ada sekitar delapan kotak.

Tunggu- setelah semuanya selesai. Marvin akan fokus sekolah hingga lulus bersama Faiz, lalU Pak Mahen? Pikiran itu terlintas begitu saja dibenak Marvin.

Marvin mendongkak, menatap Mahen. "Udah selesai ini, Pak Mahen mau cari istri ya?"

Mahen terkejut mendapati pertanyaan itu, dia tertawa kecil. Mengusap poni Marvin agar dahinya terlihat. "Kalau saya nunggu kamu lulus?"

"Pak Mahen mau nikah barengan sama Vin? Masih lama, Vin habis lulus sekolah mau kuliah kayak Abang Manu. Nikah duluan aja Pak,"

Mahen gemas, padahal dia sudah memberi kode pada anak muridnya itu. "Saya nunggu kamu lulus bukan buat nikahan bareng Vin, tapi nikah bareng kamu."

"Maksudnya?"

"Saya pengen nikah di Jerman, terus tinggal di Thailand."

Marvin mendengus sebal. Orang kaya memang berbeda padahal Indonesia memiliki banyak kota. Kenapa harus ke luar negeri?

Raja bokep meet Principal [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang