d u a e n a m

12.5K 935 58
                                    

"Rin,"

Suara Mahen dalam memanggil perempuan itu pelan, sangat lembut. Dia hanya ingin memastikan bahwa orang yang ada di hadapannya ini-- tengah membelakanginya, adalah seseorang yang ditunggu kehadirannya sejak lama.

"ARGHHHH!! PERGI-PERGI!"

Mahen sempat melonjak kaget mendengar teriakan histeris itu, dia bahkan tidak sadar tengah dibawa pergi menjauh dari penglihatan Airin.

"Mbak, kenapa saya di seret keluar?"

Perawat itu sembari menutup pintu, dia menghela napas dalam dan berbalik, menatap Mahen.

"Pasien atas nama Airin mempunyai trauma besar terhadap laki-laki, Mas." jelasnya, sedikit kewalahan dengan napas memburu.

"Tapi saya masih harus memastikan." tegas Mahen, pandangannya tak luput dari pintu dengan kaca di tengahnya-- ruang pasien.

"Bisa di lihat dari data pasien, Mas. Resikonya terlalu besar."

Mahen jelas tahu resikonya, tetapi dia belum sepenuhnya yakin dengan perempuan di dalam ruangan itu. Mahen merasa ada hal yang mengganjal.

"Baik, bawa datanya kepada saya sekarang!"

Perawat itu segera bergegas, meninggal Mahen yang terlihat frustasi karena tak kunjung memastikan kebenarannya.

Drrtt drrtt

Dering ponsel itu mengalihkan pikiran Mahen, langsung saja dia menjawabnya tanpa basa-basi. "Ya?"

"Gimana, Hen? Info gue bener gak?"

Mahen tidak langsung menjawabnya, dia berpikir sejenak dengan helaan napas dalam. "Belum."

"Hah? Gimana-gimana, maksudnya?"

Mahen melirik pintu pasien itu, banyak hal yang harus diperhatikan dengan detail. "Belum pasti," jawabnya.

"Sorry, lagi-lagi info gue meleset."

Mahen otomatis menggelengkan kepalanya pelan, dia merasa bahwa Candra adalah teman terbaik. Bahkan Mahen berbangga hati mempunyai teman seperti Candra.

"Jangan gitu, Dra. Gue jadi gak enak, lu udah banyak banget bantu gue."

"Santai aja, kita temen dah rasa sodara bro. Btw udahan dulu ya, gue harus ngajar."

Mahen mengangguk setuju, langsung saja ponsel itu kembali di saku celananya. Sekali lagi, pandangan Mahen tertuju pada kaca di tengah pintu pasien-- tempat Airin.

"Aku yakin itu bukan kamu, Rin."

Langkahnya membawa ia pergi dari sana, tentunya menuju perawat perempuan tadi untuk lebih memastikan lagi.

Di lain sisi, di waktu yang bersamaan dengan Mahen berada. Tepatnya pukul delapan pagi, Marvin justru masih tertidur pulas dengan memeluk bantal guling favoritnya.

"Bener-bener dah nih raja bokep." Manuel geleng-geleng kepalanya pelan, tak habis pikir dengan sikap pemalas Marvin yang sudah mendarah daging itu.

Raja bokep meet Principal [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang