Reva mengupas apel merah yang ia beli tadi dan menyuapi Willy dengan telaten.
"Lo di rumah sendirian?" Willy mengangguk. "Pada pulang malam kayaknya. Nanti lo di sini aja ya temenin gue, gimana?"
"Gue ijin Bang Raka dulu." Lagi, Willy hanya mengangguk dan menikmati suapan buah dari Reva.
"Tapi, bawa makan yang banyak." Reva terdiam dan menatap sepupunya tajam. "Gue lagi sakit lho, Rev. Masa gue gak makan seharian?"
"Bacot!"
Willy tidak peduli. Mau secuek apapun Reva padanya, apapun yang ia minta selagi ia sakit pasti diturutin oleh Reva.
Seperti sekarang, Kavi yang rusuh datang dengan rantang di kedua tangannya. Yang membuat tuan rumah bingung adalah pakaian Kavi yang hanya mengunakan baju putih lusuh dan masih menggunakan celana seragam hari ini.
"Kav? Lo dari mana aja? Lo mendadak miskin apa gimana sih?" Sontak Kavi menendang tulang kering Willy yang sebenarnya masih sempoyongan untuk berdiri. Alhasil, ia meringkuk dan meringis kesakitan.
"Udah sakit masih aja ngelunjak. Kalo gue mendadak miskin gak bakalan gue bawain kalian makanan sampai dua rantang gini."
Reva tertawa dan itu mengalihkan perhatian keduanya padanya.
"Lo mau tau, Wil, dia dari manaa?"
"Dari mana?" sedangkan yang di maksud hanya bisa menatap Reva pasrah sekaligus lelah. Untung sayang.
"Dia habis gue suruh bersih-bersih rumah gue---"
"IYA! Gue baru kelar tadi jam enam. Bersihin semua ruangan dan apesnya gue nemuin banyak banget sampah di setiap kolong meja atau tempat tidur." Kavi meletakkan kedua rantang yang dibawanya di atas meja. Kemudian, menunjuk Reva dengan tatatapan mengintimidasi ala mamah-mamah yang sudah hafal kebohongan anaknya. "Ini anak pasti setiap nyapu dibuangnya ke kolong-kolong kan? Ngaku lo, Rev!"
"Hehehe, peace, membantu orang lain dengan ikhlas itu pahalanya gede lho, Kav."
"Ikhlas, sih, ikhlas. Tapi, gak gitu juga. Lo tuh sebagai cewek harusnya bisa bersih-bersih. Masa kalah sama gue yang cowok? Kalo gue aduin ke Bang Raka asik, nih, kayaknya."
"Aduin aja, Kav. Reva emang keras kepala. Nunggu orang lain marah dulu baru mau dengerin."
Reva pun panik. Jika sepupunya sudah bersekongkol dengan mantannya, kemungkinan besar ucapannya adalah ancaman nyata yang siap memborbardir Reva.
"Bang, jangan gitu, Please." Reva terus memohon dengan tangan yang terus menggoyangkan lengan Willy. "Jangan diaduin, janji, deh, besok bakal nyapu yang benar."
"Palingan cuman pemanis aja biar kita berubah pikiran."
"Kita bakal tetep kasih tau Bang Raka, Rev."
"Kavi, jangan, Please! Lo yang jadi saksinya, deh. Setiap gue bersih-bersih lo yang kontrol. Asal jangan bilang ke Abang gue. Gue gak mau bikin dia makin stress denger hal sepele tentang gue yang kayak gini."
Kavi dan Willy masih terdiam. Mereka sengaja menggoda Reva agar terus memohon dengan wajah ketakutannya. Hitung-hitung hiburan bagi mereka berdua. Sudah lama juga Willy tidak membully Reva.
"Bang? Kav? Ya Allah, jangan diemin gue. Gue serius ini, gak bakal omdo." Air matanya mulai menetes satu per satu. Permohonannya tidak didengar. Ia hanya bisa pasrah sekarang. "Ya udah, kalo emang pada gak mau percaya. Aduin aja ke Abang gue. Gapapa, terserah kalian."
Berakhirlah Reva meninggalkan ruang makan dan memasuki kamar Willy seenaknya, lalu menguncinya. Ngapain? Jelas melanjutkan tangis yang tertahan. Air matanya kian deras mengalir. Tanpa bersuara karena suaranya hanya mampu tertahan di tenggoorokannya dan itu membuatnya merasa sesak. Ditambah wajahnya yang ia tenggelamkan di bantal empuk milik Willy.
Pada dasarnya mereka sangat senang, namun lama kelamaan mereka juga iba mengingat wajah sedih Reva. Sudah sepuluh menit berlalu mereka tidak mendapatkan respon apapun.
Suara mobil terparkir di garasi terdengar. Ah, orang tuanya sudah pulang. Benar saja kini Linda—Mamah Willy, berjalan kearah mereka yang berdiri di depan pintu kamar.
"Kalian ngapain berdiri di situ?"
"Biasa, Reva." Linda langsung paham apa yang dimaksud sang anak, pasti habis mengerjai keponakannya. "Ck! Kebiasaan."
Mereka pun mundur beberapa centi memberikan akses untuk Linda membujuk Reva.
"Reva, boleh buka pintunya? Ini tante, sayang. Tante sudah belikan makanan kesukaanmu, lho."
Tanpa menunggu lama, terdengar suara kunci kamar yang terputar dan pintu terbuka menampilkan Reva dengan mata sembabnya.
"Aduh, Ya Allah! Sini-sini, Tante peluk." Reva pun menghamburkan diri dalam dekapan Linda. Sosok pengganti Mamah walaupun rasanya tidak akan pernah sama.
"Cerita sama Tante, diapain lagi sama Willy?"
"Kok aku doang, sih, Mah? Yang duluan itu Kavi."
"B-buk--"
"SSTTT!!" Linda menempelkan jari telunjuknya tepat di depan bibir. "Gak usah tunjuk-tunjukan. Mamah mau dengar pengakuan dari Reva."
Reva pun menceritakan dengar jujur termasuk mengakui kesalahan dirinya sendiri.
Linda membelai rambut keponakannya dengan lembut. "Gak akan ada yang aduin kamu ke Abang kamu, cantik. Nanti kalo sampe mereka aduin kamu, Tante gak akan segan-segan untuk potong uang jajan Willy dan melarang Kavi ketemu kamu."
"MAH!"
"TAN!"
Yash, sorak protes yang kompak.
Linda tidak menghiraukan kedua anak itu. Ia tengah sibuk menata menu makan malam di atas meja. Ada beberapa menu yang terpatri, seperti ayam bakar dengan lalapannya yang lengkap, nasi goreng spesial kesukaan Reva, soto ayam kesukaan Papah Willy, es buah, dan juga bubur kacang hijau yang biasa menemani Papahnya melembur kerjaan.
Nyatanya kata maaf pun tidak cukup. Meskipun, Linda telah mengatur posisi duduk mereka agar Reva duduk di tengah dan diapit oleh dua curut itu, Reva tetap memilih diam. Hingga Willy berinisiatif mencentongkan nasi ke piring Reva. Nihil, bahkan tidak ada ucapan terimakasih dari mulut adik sepupunya itu.
Kavi mencoba menuangkan air minum ke gelas Reva saat anak itu sibuk mengambil lauk. Hal yang sama terjadi dengan Kavi, tidak ada respon, tidak ada ucapan terimakasih, melirik pun tidak.
***
Next🚀
KAMU SEDANG MEMBACA
Answer! - [ END ]✔️
Teen FictionHanya cerita tentang hari-hari setelah kepergian mamah. Menjadi beban Raka yang kini menjadi penopang hidupnya. Berusaha berdamai dengan keadaan, bangkit tanpa penyanggah, senyum tanpa beban, dan melangkah tanpa dorongan. Iya, hanya kisah pahit ma...