-3-

62 61 25
                                    

Reva dan Raka terus berjalan dengan santai di tengah koridor yang sudah sepi. Sesekali mereka melihat pembelajaran yang sedang berlangsung di setiap kelas yang mereka lewati.

"Nanti lo pulang sama Willy, ya?"

"Sama Kavi aja, deh, bang."

"Sama Willy aja biar lebih aman."

"Nggak, deh. Gue sama dia sengsara mulu." Reva membayangkan apa yang akan terjadi jika ia harus bersama Willy seharian, pasti anak itu akan menjahilinya habis-habisan. Ia belum siap menjadi bahan bullyan Willy saat ini.

"Terserah lo, deh. Yang jelas gue udah amanahin mereka buat jagain lo kalau gak ada gue."

Reva menatap Raka dengan matanya yang berbinar. Namun, sedetik kemudian ia tertawa.

"Lo ngetreat gue like a queen?"

Sontak Raka menjentikkan jarinya di kening Reva, "Lo itu tanggung jawab gue sekarang, itu pengganti karena gue gak bisa kontrol lo setiap saat. Lo kan susah di kontrol, entar tau-tau udah hilang, gak tau kemana." Reva hanya mengangguk mengiyakan sambil menahan tawanya.

Hari ini, Raka harus menjalani hari pertama ia bekerja sebagai seorang barista di salah satu cafe ternama di Bandung. Jadi, mau tidak mau ia harus memberikan kepercayaan kepada dua curut itu untuk menjaga adiknya. Walaupun terkadang ia merasa tidak yakin jika adiknya bersama orang lain selain dirinya.

Baru saja kaki mereka akan menginjak anak tangga pertama, namun sayang hanya berakhir di udara.

"KALIANNNNN!!!!"

Sepasang kakak beradik itu menoleh bersamaan dengan cengir kudanya.

"Eh, Pak Burhan."

"Kalian tuh bisa gak sih, telatnya gak kebangetan?!"

"Berarti sebenarnya telat gapapa ya, Pak?" tanya Reva polos.

Raka menyikut adiknya yang mendadak hilang akal. "Kan kita habis berduka, pak."

"Iya, Pak. Jadi, tadi kerja bakti dulu," timpal Reva dengan cengir yang meyakinkan.

"Saya tidak mau dengar alasan apapun! Kalian telatnya kebanyakan!" pandangannya kini terfokuskan pada Raka. "Raka! Kamu itu sudah kelas dua belas. Seharusnya kamu memberikan contoh yang baik pada siswa-siswa yang lain, terutama adik kelas. Lihat, tuh, adik kamu, ikut-ikutan telat juga!" omelnya panjang lebar.

"Kan kita seatap, Pak," sahut Reva.

"Saya tidak peduli. Sebagai hukumannya, kalian hormat di depan tiang bendera sampai jam setengah dua belas!"

"Lah, Pak, kan kita kesini mau belajar. Bukan mau mengcosplay jadi ikan asin, Pak," protes Reva yang tidak terima jika hanya belajar tiga jam saja hari ini.

"Tidak ada bantahan. Saya tidak suka dibantah. CEPAT!"

Daripada menambah masalah, Reva dan Raka berjalan menuju lapangan. Pak Burhan, beliau masih memantau mereka dari tepi lapangan.

Tas mereka diletakkan di tepi tiang bendera, lalu mereka langsung memosisikan diri sesuai perintah Pak Burhan tadi.

"Tidak boleh turun higga batas waktu yang saya tentukan tadi! Hingga jam berapa tadi saya bilangnya?"

"Jam setengah dua belas, Pak," jawab keduanya dengan nada malas.

"Bagus." Beliau menatap Reva dan Raka bergantian sebelum akhirnya melangkah pergi.

"Argh! itu guru kayaknya pernah ada trauma, deh," gerutu Reva.

"Trauma sering dibohongin murid. Capek dengar semua alasan yang gak berujung." Keduanya tertawa.

"Pasti suka baca wattpad juga tuh, segala gak terima bantahan." Untuk kesekian kalinya Reva yang menyeletuk. Untung tidak ada yang mendengarnya.

***

Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Seluruh siswa SMA Tranggana berhamburan keluar kelas. Tujuan utama mereka adalah kantin. Tapi, posisi Raka dan Reva yang berada di tengah lapangan, berhasil mencuri perhatian setiap orang yang melihat ke arah sana.

"Capek gak? Mumpung jam istirahat, lo mau gue beliin apa?"

"Gak usah. Gue gak capek juga."

"Muka lo udah pucet."

"Gue gak selemah itu, Bang. Gue mau jalanin hukumannya sampai selesai."

Raka mengangguk dan kembali menatap bendera, tangannya masih setia di pelipisnya.

Terik matahari yang semakin panas membuat keringat terus membanjiri pelipis mereka. Pandangan Reva semakin tidak fokus, mulai blur.

Berulang kali ia mengerjapkan matanya. Sayang, tubuhnya semakin lemas dan ambruk ke arah Raka. Raka yang belum siap pun sempat terdorong hingga akhirnya tangannya berhasil memapah tubuh adiknya.

"Rev, bangun, Rev." Ia terus menepuk pipi adiknya itu.

Tidak ada sahutan dari Reva. Justru pekikan dari beberapa orang di sekitar koridor, seketika lebih mendominasi.

Bibirnya pucat, tubuhnya mengeluarkan keringat dingin. Dengan cepat Raka menggendong Reva keluar dari lapangan, menerobos gerombolan orang yang hanya menyaksikan kejadian barusan.

"Permisi!"

Berulang kali ia mengatakan hal itu sepanjang koridor sambil berlari.

"Pucet banget gila!"

"Reva kenapa?"

"Eh? Itu siapa?"

"Kok bisa?"

Serentetan pertanyaan itu terus keluar dari mulut yang berbeda-beda dan menggema di pendengaran Raka. Tidak ada satu pun yang Raka gubris.

"MINGGIR WOE! BUKAN TONTONAN!" Dalam hitungan detik, seluruh siswa menepi memberi jalan untuk Raka dan Reva. Siapa lagi kalau bukan Willy pelakunya.

Suaranya yang lantang nan tegas, juga terkenal sebagai ketua OSIS periode lalu, membuat dirinya disegani oleh banyak murid.

Willy ikut berlarian hingga langkahnya mendahului Raka. Tujuannya agar ia bisa membukakan pintu UKS,

Naas, kepanikan Raka justru membuatnya tidak fokus dengan keadaan sekitar. Kakinya menyandung lantai UKS yang sedikit lebih tinggi dari lantai koridor.

Tubuh Reva mengudara begitu saja, sedangkan Raka sudah tersungkur mencium lantai.

BRUK!

Hening.

"Goblok, sia!" Willy menoyor kepala Raka dan berlari ke arah Reva.

"Rev, lo gapapa?" Willy membalikkan tubuh Reva dan menyanggah bagian kepala Reva dengan lengannya.

Reva berdesis, "Mata lo gapapa! Sakit, anjing!"

Raka menggaruk tengkuknya yang tidak gatal saat Willy menatapnya tajam. "Gara-gara abang lo, Rev."

"Maaf ya, Dek, hehe. Gak sengaja, tadi kesandung."

Reva tidak peduli, ia masih mengusap lengan dan pinggangnya yang sakit.

"REVA! OMG, BABY GUE YANG PALING GEMOY!" teriak Angel, bestie Reva, dari pintu UKS. Semua pandangan kini tertuju padanya.

Kavi dan dua orang sohib Raka yang baru datang pun dibuat terkejut dengan apa yang ada di depan mereka.

"Reva? Ngapain baring disitu?"

"Ka, kok lo bego banget sih? Adek lo sendiri malah ditaruh di lantai," cibir Gilang.

Reva belum bisa jalan sendiri, tubuhnya masih lemas. Kavi, Willy, Gilang, dan Bayu pun ikut membantu Reva ke dipan.

"Reva lo tadi pingsan gara-gara dihukum? Kok bisa?"

"Aduh, Angel, kepala gue masih sakit tau. Lo kalau mau interogasi gue nanti aja, deh."

"Kan gue cuman--"

"Bacot!" sanggah Willy.

***

Next🚀


Answer! - [ END ]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang