-13-

35 41 2
                                    

Cup!

Ah, sial. Ia kelepasan saking bahagianya. "M-maaf, hehe."

Astaga. Apa ini termasuk rejeki anak yatim piatu? Mendapat kecupan dari bidadari surga yang sedang berbahagia. Sungguh, ini sangat tidak aman untuk jantung Raka yang notabenenya tidak pernah mendapat kecupan selain dari anggota keluarganya.

Cepat-cepat Raka menghapus jejak bibir gadis itu dari pipi kanannya. "Jadi cewek jangan asal nyosor," ucapnya datar.

Diva menghapus kasar bibirnya, berharap bekas sosorannya tadi hilang. "Ck, makanya bibir lo jaga, Div," kesalnya pada diri sendiri.

Raka sengaja mengambil posisi duduk pojok dekat jendela agar mereka tetap bisa menikmati pemandangan luar kafe.

"Mau pesen yang mana?"

"Yang murah aja."

Raka menyandarkan punggungnya di kursi. "Pilih sesuka lo. Nikmatin aja, kapan lagi kan kesini bareng gue."

Diva memerhatikan daftar menu yang ada.

"Gue mau kimbap dan minumnya blink on fire. Lo mau apa?"

Kini daftar menu itu berpindah tangan. Jujur, sejauh ini ia belum pernah mencoba makanan khas korea.

"Gue mushroom ramyeon dan minumnya elf miracle."

Setelah Diva mencatat pesanan mereka, ia memberikan notenya pada seorang pelayan yang sedari tadi menunggu di samping meja mereka.

Ia kembali memainkan kameranya. Tidak bosan memerhatikan hasill foto hari ini yang sudah membeludak hampir ribuan.

Banyak foto berdua Raka dan dirinya sewaktu di Centrum Million Balls tadi. Terlihat keduanya yang bahagia saat menceburkan diri di antara jutaan bola orange. Mulai dari pose Raka yang hampir tertimbun bola hingga posenya yang berbaring di atas kasur angin berbentuk semangka dengan Raka di samping kasur angin itu.

Diva kembali menggulir layar kameranya. Kini terlihat jelas potret dirinya dan Raka tanpa senyuman di spot Disco Darling. Paling menggemaskan foto mereka berdua saat di bagian Screet Door. Raka di ruang biru dengan pose ala-ala menguping tetangga sebelah, Diva pun demikian. Hanya saja ia berada di ruang pink. Pose kedua, masih di spot yang sama dengan mereka yang bergandengan tangan yang terbatasi garis dinding.

Mereka juga sempat berfoto ria di spot Yellow Bubble Shower. Ruang bernuansa kuning dengan bath up putih di tengah ruangnya. Tidak ada pose salah satu dari mereka yang memasuki bath up, semuanya mereka ambil dengan pose berdiri kala itu. Jadi, bagian bath upnya tidak terambil.

Terakhir ada foto mereka berdua yang saling berpelukan di depan Centrum Million Balls. Uh, sangat menguji kesabaran orang asing yang membantu mengambil potret dirinya dan Raka. Yash! Semua foto mereka yang berdua adalah hasil minta tolong ke berbagai pengunjung lainnya. Yang Diva saluti adalah keahlian mereka yang berhasil memotretnya dengan sempurna. Dalam hati ia ucapkan terimakasih untuk semua orang yang sudah mau ia repotkan hari ini.

Kalau dilihat-lihat, belum ada foto Raka di Little Seoul ini. Diam-diam ia mengangkat kameranya dan memotret Raka yang sedang candid sebab ia sedang asik mengamati luar jendela.

Ia tersenyum melihat hasilnya. Bagus.

"Raka." Ia sengaja memanggil agar Raka melihat ke arahnya.

Cekrek!

Diva tertawa. Ia berhasil memotret Raka. Untungnya foto barusan Raka tidak spontan cengo.

"Kalau mau foto tuh ngomong dulu."

"Tenang aja, hasilnya bagus kok. Gak ada aib lo sama sekali."

"Ouh, iya. Lo gak ajak Reva?"

"Dia ada acara sendiri."

"Kemana?"

"Diundang makan siang sama keluarganya Kavi."

"Yang udah jadi mantan itu kan?" Raka mengangguk membenarkan. "Cepet juga lo kenal adek gue."

"Dia yang cerita. Kok bisa masih deket?"

"Mereka pacaran dari akhir kelas 6 SD dan putus di akhir kelas 9. Mereka putus tanpa konflik, mereka cuman baru tersadarkan aja kalau gak seharusnya mereka menjalin hubungan karena mereka berbeda keyakinan. Mereka udah saling janji buat tetap berteman baik apapun yang terjadi. Tapi, kenyataannya sampai sekarang mereka masih saling sulit melepaskan. Mereka udah putus, tapi kayak belum putus. Dia juga diratukan sama kelaurganya. Mereka udah anggap Reva kayak anak kandung mereka sendiri. Makanya, mereka masih deket banget sampai sekarang," jelasnya panjang lebar.

"Anjir! Gue salut sama kisah mereka."

"Emang adek gue gak cerita detailnya?" Diva menggeleng. "Dia takut keadaannya berubah kalo sering ngumbar kehidupannya ke orang lain katanya."

Pesanan mereka pun tiba dan mengalihkan perhatian keduanya sebentar. Tapi, tidak dengan rasa penasaran Diva.

"Makasih, Mba."

"Berubah gimana maksudnya?"

"Entahlah, dia sering bilang gitu. Misal, dia lagi seneng sama suatu hal, kalau dia keseringan cerita tentang hal yang sama, perasaan bahagianya terhadap hal itu akan pudar. Kalau dia sering cerita isi hatinya ke orang lain, dia bisa mati rasa sama hal-hal yang berkaitan. Kalau dia sering cerita tentang keinginan yang belum tercapai, keinginannya itu bisa makin jauh dari dia, bahkan gak akan bisa ia gapai. Itu sih yang dia rasain katanya. Makanya, kalau dia udah ceritain suatu hal ke satu orang, dia gak akan ceritain lagi ke orang lain."

"Dia termasuk langka. Gak semua orang berhasil paham akan dirinya sendiri. Menurut gue, orang kayak Reva jangan dipaksa cerita."

"Gue emang gak pernah maksa dia cerita. Tapi, kayaknya dia lebih sering cerita ke abang sepupunya dan Kavi."

"Ke lo?" Raka menggeleng, lalu kembali menyantap ramyeon pesanannya tadi. "Jarang. Sejak Mamah gak ada, dia jadi jarang cerita ke gue."

"Gak usah negative thinking. Dia gak mau nambah beban pikiran lo."

"Yeah, i know that."

***

Next🚀

Answer! - [ END ]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang