-4-

55 58 9
                                    

Berbeda dari tadi pagi, senyum Reva menghilang sejak accident ia di UKS. Niat awal yang masih ingin mengikuti jam pelajaran walaupun hanya tiga jam, justru menjadi tidak ikut sama sekali. Untuk pertama kalinya ia seharian di UKS.

"Gak lagi-lagi, deh, gue begini."

"Namanya juga kecelakaan, kan gak ada yang tau, Rev."

"Lo tuh ceroboh tau gak? Masa lantai UKS yang cuman naik lima senti aja lo gak liat."

Terdengar helaan nafas dari Raka. Ternyata mereka sudah sampai parkiran.

"Gue minta maaf ya, Rev. Abang beneran gak liat tadi. Gue udah panik duluan, takut lo kenapa-kenapa."

"Ekhem! Ya gini nih, kalo orang paniknya berlebihan. Otaknya suka gak jalan, jadi gak bisa berpikir ke arah hati-hati," sergah Angel yang sedari tadi hanya menyimak pertengkaran kecil Reva dan Raka.

"Emang kalo lo panik, otak lo ada, Ngel?" ucap Willy santai, namun berhasil membuat orang yang dituju mati kutu.

"Y-yaa, nggak sih. Mendadak hilang juga, hehe."

Raka melirik jam tangan hitamnya. Kurang lima belas menit lagi ia akan telat. Belum lagi jarak dari sekolah ke kafe tempat ia bekerja.

"Ya udah, Wil, Kav, gue titip Reva ya. Gue harus berangkat sekarang, udah mepet juga."

"Lah? Lo gak nitipin Reva ke gue juga gitu? Kan secara gue bestienya gitu lho. Ya, kan, Rev?" yang disebut hanya bergumam malas.

"Iya-iya, lo juga. Jangan dibacotin terus adek gue. Kesian, nanti budek."

"RAKAAAAA!" sontak keempat orang tersebut menutup telinga mereka masing-masing. "Dasar kakak kelas paling nyebelin. Untung lo kakaknya Reva, kalo bukan udah gue penggal mulut lo dari kemarin."

"Sejak kapan mulut bisa dipenggal?" Kavi masih tak habis pikir, bagaimana gambaran bibir manusia yang dipenggal.

Raka hanya bisa menggelengkan kepala melihat Kavi dan Angel adu mulut. Ia memilih pamit dan bergegas menuju kafe.

"Gak usah ribut mulu, nanti berjodoh. Gue duluan." Seketika dua orang yang disindir pun terdiam.

"Hati-hati, Bang!"

***

"Btw, gue mau balik dulu, mau beli makan bukan orang rumah. Ngel, lo mau pulang sekarang atau nanti? Biar sekalian."

"Nanti aja, deh. Gue masih mau temenin Reva sekalian ngerjain PR Fisika."

"Pada mau nitip apa? Gue tau lo semua lapar." Tiba-tiba cengiran Kavi muncul begitu saja. "Tau aja lo, Bang. Saran gue sih kalo gak bakso ya makanan warteg depan gang."

"GAK! Gue tim mie ayam sangat menolak bakso!"

"Kan tinggal pesan aja, Ngel. Gak harus sama." Tolong, pinggang Reva masih sedikit pegal dan lelah medengar segala ocehan sahabatnya.

"Tapi, Bang Willy gak suka ribet, Rev. Pasti nanti disamain semua."

"Ngel, kok gue rada nyesel ya, bawa lo kesini? Salah sih, harusnya tadi gue ajak Gilang sama Bayu aja," ucap Willy malas.

"Aduh! Bang Willy, dari pada nyesel mending ajak dua curut itu aja kesini. Karena percuma, gue gak akan pulang sampai Bang Raka pulang."

Kavi sudah akan angkat bicara lagi jika Reva tidak memberinya kode. "Ngel, lo jangan nyerocos mulu atau gue yang bakal nyuruh lo pulang!"

Jika sudah begini, Angel pasti akan menjaga sikpanya. "Samain semua aja, Bang. Beli sayur sop di warteg depan gang. Lauknya beli aja semua yang masih ada di sana, nanti soal minum gue sediain, deh. Gue tau lo semua sukanya yang dingin-dingin kek sikap dia. AHAHAHA!" sontak tawa Reva menular ke dua orang lainnya, kecuali Kavi.

"Emang gue dingin, Rev?" Dan saat itu wajah mereka mendadak datar dengan mata yang tertuju pada Kavi.

"Eh? Nggak kok, sikap lo kan friendly dan hangat. Jadi, siapa pun yang ada di dekat lo pasti merasa nyaman. Termasuk gue."

Melupakan Reva yang mengganti panggilan menjadi gue-lo, Kavi membalas tatapan Reva, senyumnya mengembang, tangannya terulur mendekap Reva dalam rengkuhannya. Tapi, tidak jadi ketika Willy membanting remot tv ke sofa dan beranjak berdiri, "LO SEMBUH, VA! FIX, LO UDAH SEMBUH!"

"Utututu, abang gue satu ini cemburu rupanya kalo gue dipeluk orang lain. Sini gue peluk dari pada lo dipeluk Kavi rada risih juga gue liatnya." Willy menjulurkan lidah ke arah Kavi saat Reva memeluknya dan Angel sudah tertawa puas melihat raut wajah Kavi.

"Makanya, Kav. Jangan bangga kalo cuman jadi pasangan sementara, percuma kalo gak jodoh gak akan bisa jadi bagian keluarga."

"TEROOSSSS, BANG! TEROOSS! Tampar gue aja terus sampai gue minder," protesnya yang sudah ditinggal pergi oleh Willy.

"REVA, JANGAN KEMANA-KEMANA, YA, MAU ADA TUKANG URUT!" Ternyata Willy belum benar-benar pergi. Ia baru akan menutup pagar rumah sepupunya itu.

Ia kira sepupunya tidak berpikir kesana karena tadi Willy sudah melihatnya bisa bercanda dan tertawa. Sebenarnya tidak dipanggilkan tukang urut pun tidak apa, Reva juga sudah merasa lebih baik dari sebelumnya. Tapi, ide Willy ada benarnya juga dari pada nantinya ada hal yang telat ditangani.

***

Setibanya Willy di rumah, ia meletakan dua porsi bakso, satu jus sirsak dan satu jus jambu pesanan kedua orang tuanya di atas meja makan.

"Wah! Seger banget nih menunya. Makasih, ya, Wil."

"Sama-sama, Pah."

"Makan dulu sini, Wil."

"Willy makan di rumah Reva aja, Mah. Bareng teman-teman juga. Lagian kan Willy emang cuman bawa dua porsi itu aja kesini."

"Tau nih, Mamah. Nanti dia makan apa kalo porsinya dimakan kita semua?"

"Ish, Papah, ya dibagi aja. Setengah porsi Papah sama setengah porsi Mamah buat Willy. Kan porsinya jadi rata semua."

Willy hanya terkekeh melihat kelakuakan kedua orang tuanya.

"Oh, iya, Papah dengar sekarang Raka kerja, benar?" Entah mengapa atmosfer meja makan berubah, mendadak lebih serius.

"Iya, benar, Pah." Ada rasa was-was dalam diri Willy, takut kedua orang tuanya tidak menyetujui pilihan Raka.

"Dimana?"

"Kafe." Sang ayah hanya mengangguk dan tetap fokus pada makanannya.

"Kafe mana?"

"Tejamaya Cafe." Kali ini pergerakan tangan sang ayah berhenti dan menatap Willy beberapa saat.

"Seharusnya dia tidak bekerja di sana."

***

Next🚀

Answer! - [ END ]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang