-9-

44 46 2
                                    

BUGH!

Tepat satu tinjuan mendarat mulus di dada cowok itu.

"REVA?!" Angel berlari menuju sofa, bahkan ia tidak peduli dengan dirinya sendiri yang hampir terpeleset melewati keset kamar mandi. "Reva lo apain dia?!"

Reva hanya berdiam diri. Tubuhnya mematung melihat akibat dari ulangnya sendiri. Ia masih shock, bahkan untuk mengecek keadaan Willy pun ia tidak sanggup. Berbeda dengan sahabatnya yang langsung menepuk pipi Willy berulang kali. Berharap cowok itu hanya menipu. Nyatanya tidak.

"Rev, lo apain dia, sih?"

"G-Gue gak sengaja p-pukul da---"

"Gila, ya, lo? Kalo bercanda jangan kebangetan kenapa, sih, Rev?!"

"Posisiin dia yang bener. Gue mau telepon dokter pribadi gue dulu."

Sesuai intruksi, Willy tetap di posisikan di karpet samping sofa dan hanya memberikan bantal sebagai sanggahan di kepalanya. Bagaimana lagi, ia tidak kuat jika harus memindahkan Willy seorang diri, ya, walaupun hanya mengangkatnya ke sofa. Nanti yang ada cowok itu nyungsep, bisa habis dia di tangan Angel. Begitu-begitu juga Angel kalo udah care gak ada yang bisa tandingin.

Minyak kayu putih sudah diberikan, segala sesuatu bentuk bau-bauan juga sudah, tapi tidak ada kemajuan. Beruntungnya dokter pribadi Angel datang dengan cepat dan bergegas menanganinya. Termasuk posisi Willy yang lebih nyaman sekarang, di sofa.

"Lain kali jangan begini lagi, ya. Pukulan di dada bisa berakibat fatal. Untungnya pukulannya tidak terlalu kencang. Jadi, tidak ada cedera yang serius. kalau sudah sadar nanti diminumkan air putih dulu, ya. Jangan yang lain. Saya permisi."

Sepeninggalan dokter, Reva tiba-tiba terisak sambil duduk di samping sofa. Ia tidak menyangka, tangannya begitu ceroboh melukai sepupu kesayangannya sendiri. Padahal niatnya hanya bercanda.

"Abangg..." lirihnya. "Willy gue minta maaf sama lo, hiks.. bangunnya cepetan dong, nanti gue semakin berpikir yang nggak-nggak, hiks.."

"Makanya jangan ringan tangan, Rev."

"Ya, kan, gue reflek, Ngel. Lagian dianya duluan yang ngeledek gue, hiks..."

"Drama anak TK lo, ah. Perkara diledek doang."

Angel tidak tahu percakapan apa saja yang telah dilalui keduanya. Yang ia tahu hanya suara seperti orang jatuh dan kenyataan Willy yang sudah terbaring di lantai setelah ia keluar dari kamar mandi. Entah bagaimana jadinya jika tadi ia mendengar semua percakapan keduanya. Setidaknya ia tahu apa yang menjadi alasan reflek cerobohnya Reva.

Dering ponsel khas milik Reva berdering, mengalihkan perhatian pemiliknya.

"Siapa, sih, orang lagi khusyuk nangis juga." Saat melihat nama siapa yang tertera ia berusaha meredakan tangisnya dan menghapus jejak air mata di pipinya.

"Mantan, besok aku pulang. Mau dibawain oleh-oleh apa?"

"Gak usah, gapapa."

"Habis nangis? Kenapa?"

Sudah bagus diam, malah berkoar lagi. "HUAAAA!!! Kavi, Willy pingsan gara-gara gue. Gue gak sengaja pukul dadanya. Dia duluan yang ngeledek gue, Kav, hiks..."

Tidak ada rasa kaget atau belas kasih, cowok itu malah memamerkan tawanya dari seberang sana. Tidak tahu saja mereka, sedari tadi Angel menatap jengah keduanya.

"Entar lagi juga bangun. Dia kan kalo pingsan gak akan lama sampai seminggu."

"Itu koma, dodol!" Reva memutuskan sambungan. Moodnya jadi tambah buruk sekarang. "Gue belum ngabarin Abang gue lagi. Bodo, ah."

Answer! - [ END ]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang