Masih pagi buta, kedua kakak beradik ini tengah disibukkan dengan pekerjaan rumah yang sudah dibagi-bagi. Raka yang kebagian nyapu, ngepel, dan cuci piring. Reva yang kebagian cuci baju, jemur, dan setrika. Untuk urusan kamar, itu sudah disepakati menjadi tanggung jawab pemilik kamar masing-masing.
Di tengah-tengah kegiatan menjemurnya, Reva pun mengeluarkan isi kepalanya.
"Bang, nanti kan lo langsung ke kafe, seperti biasa gue pulang sama Willy aja ya?"
"Kan lo bisa pulang sendiri."
"Ya udah, deh, gue pulang bareng Kavi aja biar ada temennya sekalian di rumah."
"Malah makin ngaco. Mau digerebek warga?"
"Lah? Kan biasanya juga gitu gapapa selagi pintu rumah dibuka."
"Gak ada yang tau kedepannya bakal gimana. Kalau Kavi kehilagan kendalinya dan lo lagi apes?"
"Dih, masa mikirnya kayak gitu."
Raka tetap melanjutkan kegiatan menyapunya.
"Lagian, ya, kalau lo gak bolehin gue berduaan di rumah sama mereka, ya udah, gue bakal pulang bareng aja tanpa main di rumah."
Raka menghembuskan nafasnya lelah, ya Tuhan, bisakah Reva sedikit peka padanya? Ia menatap ke arah adiknya yang masih sibuk menjemur. "Gak usah pulang bareng sama mereka. Sekali-kali lo gak bertergantungan sama mereka. Lo masih punya gue, abang lo."
Reva kembali masuk ke dalam rumah dengan ember yang kosong tanpa cucian. Berdiri tepat di depan Raka yang masih menatapnya lekat. Tidak ada keraguan sedikit pun bagi Reva untuk menatap balik sang kakak.
"Ada apa sama lo yang akhir-akhir berubah?"
"Gak ada yang berubah, Rev."
"Apa lo gak sadar? Akhir-akhir ini lo lebih posesif ke gue. Lo batasin pertemuan gue dengan Willy yang notabenenya sepupu gue,sepupu lo juga. Apa ini ada hubungannya dengan kecanggungan kalian berdua?" Sebisa mungkin ia menjaga suaranya agar tidak terdengar orang lain. Sudah lama hal ini mengganggu pikirannya dan saatnya ia mencari tahu.
"Iya. Karena lo tetap bisa happy sama dia walaupun gak di rumah tanpa peduli perasaan gue yang iri sama kalian berdua. Gue abang lo, Rev. Gak ada abang di dunia ini yang rela adeknya lebih dekat dengan orang lain!" Raka menegaskan kalimat terakhirnya.
"Okey!" Suaranya tidak kalah tinggi dengan lawannya. "Tapi, kenapa lo juga harus batasin gue dan Kavi? Dia gak punya masalah sama lo."
"Gue gak suka liat lo sedih cuman gara-gara hubungan kalian, Reva!"
"Gue gak pernah sedih apapun yang terjadi asalkan dia tetap sama gue!"
"Bohong! Come on, jangan bohongin diri lo sendiri, Rev. Lo pikir gue gak tau? Lo sering tidur larut malam cuman karena meratapi hati lo yang gak pernah bisa lepas dari orang yang jelas-jelas gak akan pernah bisa hidup bareng sama lo!" Raka berhasil menampar Reva. Air matanya perlahan luruh mendengar pernyataan yang sebenarnya tidak perlu diperjelas pun ia tahu.
Reva menyeka air matanya dengan kasar, "Jangan atur hubungan gue, Raka! Itu urusan gue. Toh, gue juga gak pernah ngelarang hubungan lo sama siapa pun termasuk Kak Diva."
"Lo gak ngerti, Rev---"
"Apa yang gak gue ngerti, Bang? APA?! Yang ada lo yang gak pernah tahu perasaan gue." Raka tersentak dengan suara Reva yang meninggi dengan air mata yang terus mengalir.
"Tiap hari gue berharap punya waktu banyak sama lo. Tapi, kenyataannya gak semudah itu. Lo yang pulang malam dan langsung istirahat, lo yang jarang di rumah. It's okay, gue maklumin karena lo sendiri yang bilang ke gue kalau lo kerja juga buat gue. Tapi, setelah lo kenal Kak Diva, lo abaikan gue, lo lebih punya banyak waktu sama dia, lebih sering ajak dia jalan-jalan, seru-seruan bareng, bahkan lo lebih perhatian sama dia dibanding gue. Itu harapan gue, Raka! Lo kira gue gak cemburu? Cuman lo yang gue punya sekarang, Bang. Gue butuh perhatian lo, kasih sayang lo. Tapi, malah lo kasih buat orang lain. Jadi, jangan salahin gue yang lebih milih dekat dengan Kavi dan Willy!"
Dengan derai air mata yang terus mengalir, ia berlari menaiki anak tangga, memasuki kamarnya dan membanting kasar pintu putih itu.
"Gue juga cemburu, Rev."
***
Perdebatan tadi pagi membuat matanya bengkak dan mengatuk. Ia juga kehilangan moodnya pagi ini.
"OMG, REVA!?" Bahkan suara menggelegar Angel pun saat ini hanya terdengar seperti bisikan.
"Mata lo kenapa? Lo habis nangis? Siapa yang bikin lo nangis? Biar gue hajar sekarang juga," ucapnya menggebu-gebu. Tidak mendapat jawaban, ia kembali memerhatikan Reva yang berjalan malas ke kursinya.
"Lo juga lemes banget. Lo sakit? Hah?" Tangannya menjelajah muka Reva memastikan kondisi sahabatnya itu.
"Aish, Reva jawab dong. Gak biasanya tau lo begini."
"Gue gapapa, Ngel. Cuman males aja hari ini ulangan biologi." Angel dibuat kaget mendengarnya. Baru kali ini Reva malas dengan ulangan biologi. Biasanya dia paling semangat kalau udah ketemu hal yang berkaitan dengan biologi.
"Halah, malesnya lo itu sulit dipercaya. Bilang doang males, tau-taunya paling gede di kelas. Gue tanya sekarang, lo tetep belajar kan tadi malem?"
"Cuman males, bukan gak mau belajar. Bedain!"
Angel kembali bingung dengan sikap Reva yang mendadak sewot. Pms kali ya? Pikirnya.
Berbeda dengan Reva yang justru mencari posisi ternyaman untuk tidur. Tiga kursi ia sejajarkan termasuk kursi Angel, barulah ia tidur diatasnya bagai permaisuri yang butuh dikipaskan dengan sapu ijuk jumbo. Tas Angel ia jadikan bantal, sedangkan tasnya dia sendiri ia peluk menutupi wajahnya. Menangis lagi.
***
Next🚀
KAMU SEDANG MEMBACA
Answer! - [ END ]✔️
Teen FictionHanya cerita tentang hari-hari setelah kepergian mamah. Menjadi beban Raka yang kini menjadi penopang hidupnya. Berusaha berdamai dengan keadaan, bangkit tanpa penyanggah, senyum tanpa beban, dan melangkah tanpa dorongan. Iya, hanya kisah pahit ma...