-20-

24 31 0
                                    

Terlalu lama bermain sangat menguras tenaga hingga ketiganya memutuskan makan siang di suatu tempat.

"Udah dzuhur, mau sholat di istiqlal?" tanya Kavi yang membersihkan bibirnya dengan tisu.

"Kenapa gak masjid yang dekat sini aja?"

"Sekalian gue ada urusan di sana. Nanti lo ikut gue aja."

Seperti sekarang, keduanya mengantarkan Reva hingga depan istiqlal.

"Sholatnya yang khusyuk ya, cantik. Jangan lupa berdoa. Aku mau temui pamanku dulu."

Reva mengangguk setelah Kavi mengusap lembut puncak kepalanya. Kepergian Kavi tidak luput dari pandangan Reva. Ia melihat bagaimana tubuh tegap itu melangkah memasuki area katedral dengan Angel di belakangnya.

Beberapa jam yang lalu, Kavi menerima pesan dari sang paman agar sesekali ia menemuinya. Waktu luang yang sedikit membuat paman dan keponakannya itu sulit bertemu sejak beberapa bulan lalu. Kebetulan hari ini Kavi berada di Jakarta, menjadi kesempatan besar untuk melepas rindu.

"Waahh! Makin tampan saja kamu."

"Ah, Om bisa aja," jawabnya malu-malu.

"Ekhem, ada yang makin cantik juga nih. Pasti pacarnya lebih dari satu."

"Boro-boro ada yang mau sama dia, manusia paling berisik di sekolah," sergah Kavi.

Reflek Angel menabok lengan kiri Kavi, "Nyebelin banget sih lo!"

"Kabar orang tua kalian gimana?"

"Puji Tuhan baik om."

Ketiganya hanyut dalam obrolan ringan yang cukup menyenangkan. Perlu diketahui, paman mereka adalah seorang pastor di Katedral Jakarta. Beliau salah satu sosok yang Kavi jadikan panutan yang membuatnya dewasa dan begitu jatuh dalam pelukan Tuhannya.

"Gimana? Masih ada niatan jadi pastor, Kav?"

Di arah tuju yang berbeda, Reva mengadahkan kedua tangannya menghadap kiblat. Matanya memejam tanda menyerahkan semuanya dari hati yang terdalam.

"Ya Allah, Engkau yang Maha Kuasa lagi Maha penyayang, tiada tempat yang paling aman selain pada-Mu. Hamba titipkan semua rasa yang hamba punya untuknya pada-Mu. Tetapkanlah kebahagiaan atas dirinya, lindungi dia, kuatkan imannya walau kami tak seiman dan apabila engkau lebih berkenan, sampaikanlah hidayah-Mu agar ia menjadi salah satu bagian dari umat-Mu. Aamiin."

Perih rasanya memohon sesuatu yang mungkin tidak seharunya ia sampaikan. Ada rasa bersalah saat doa itu telah ia panjatkan. Tapi, ia juga berharap kebahagiaan selalu mneyertai keduanya, bersama atau pun tidak.

***

Puncak kebahagian Angel sudah di depan mata, namun tidak dengan Kavi. Otaknya berjalan memikirkan barang apa yang akan ia jual untuk kelangsungan hidupnya setelah ini.

"Muka lo gak usah kek orang susah, deh," ledek Angel. "Rev, mantan lo tajir. Tapi, pelit."

"Ada hitugannya, Ngel. Harta juga bisa habis kalau kita gak bisa kelolanya. Hemat itu tetap harus diterapkan."

Jawaban Reva berhasil mengundang tawa Kavi.

"Tau, ah. Susah bercanda sama orang yang bucin tingkat dewa."

"Mau kemana lo, Ngel?" tanya Reva setengah teriak saat melihat Angel yang berlari duluan menuju loket tiket. Angel menulikan pendengarannya. "Kayak duitnya dipegang lo aja!"

"Lo kan cuman bawa seratus ribu doang hari ini!" Itu Kavi. Sial, dua orang itu memang ingin mempermalukannya di depan umum.

Angel membalikan badannya dan berjalan cepat ke arah kedunya. Dari jauh sudah terlihat aura hitamnya.

Answer! - [ END ]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang