-32-

41 44 19
                                    

Disaat hati Reva masih kelabu, langit begitu ceria memunculkan dirinya seakan menegur Reva bahwa dunia akan terus berjalan walaupun kita sedang tidak baik-baik saja.

Reva begitu khusyuk duduk bersimpuh membacakan yasin di depan jasad Raka. Sesekali ia menghapus air matanya dengan tisu. Tangan Linda terulur merangkul mengelus bahu Reva.

Willy dengan sangat hati-hati dan berat hati menuliskan nama sepupu angkatnya di sebuah papan nisan.

"Rasanya baru kemarin gue kenal lo, Ka, sekarang lo justru harus pulang duluan," monolognya.

Jika dulu Willy suka mencoret-coret buku Raka dengan identitas sang pemilik, hari ini ia harus menulisnya di papan nisan. Barisan identitas yang akan selalu terbaca oleh semesta dan penduduknya.

"Maaf Bu, jenazah sudah waktunya disolatkan dan dimakamkan, karena semua keperluannya juga sudah siap," Izin seorang ustadz.

Linda menuntun Reva untuk berdiri dan menepi, tubuh gadis itu bergetar bukan main.

Seorang ustadz memberi arah pada beberapa orang untuk mengangkat jenazah Raka termasuk Bayu, Gilang, Willy dan ayahnya.

Willy memeluk Reva memberikan kekuatan sebelum ia ikut mengangkat kendaraan terakhir Raka.

Jika dulu Raka pernah mengajarinya solat, hari ini ia harus menyolatkan Raka untuk yang terakhir kalinya.

Tidak hanya Reva yang berduka, Angel pun berduka atas meninggalnya Kavi. Gadis itu hampir gila saat mendengar kabar Kavi yang tiada dengan kondisi yang tidak utuh. Mereka memang sering bertengkar, tapi itulah cara mereka menunjukan kasih sayang mereka sebagai saudara.

Suasana duka begitu terasa di rumah yang biasa dipenuhi dengan keharmonisan keluarga Kavi. Matthew dan Ella pun tidak menyangka bahwa anaknya akan lebih dulu dipanggil daripada mereka.

"Tuhan sayang kamu, nak." Kalimat itu terus terlontar dari mulut seorang ibu dengan nada getarnya yang khas. Wanita itu berusaha menenangkan dirinya agar segera ikhlas.

"Kavi, andai lo hidup lebih lama, gue akan menghargai setiap waktu yang gue punya bareng lo." Berulang kali berusaha tegar, namun nyatanya duka memang tidak bisa disangkal. Air mata Angel lolos begitu saja melalui ekor matanya saat ia mendongakan kepala.

Adam dan Rehan menatap Kavi yang kini terbaring tenang di peti dengan pakaian favoritnya. Tubuhnya terlihat utuh dengan setelan formal yang terbalut ditubuhnya. Tidak ada yang melihat kalau sebenarnya ada bagian yang tidak lagi menyatu.

"Yang tenang di sana, bro." Rehan kembali ke tempat duduknya. Ia takut jika terlalu lama berbicara dengan raga itu ia akan kembali menangis.

Seketika ia merasa begitu nyeri di dadanya. Ia membayangkan bagaimana sakitnya jadi Reva. kehilangan dua orang yang berarti dan hanya bisa menuntun salah satunya hingga peristirahatan terakhir. Itu artinya, tidak bisa melihat wajah terakhir salah satu yang lain.

"Gue percaya lo perempuan yang kuat, Rev."

***

Air mata Reva semakin deras saat tiba di depan liang lahat Raka. Ia terus memeluk Willy dengan erat sejak lelaki itu menurunkan keranda Raka.

Willy membalas pelukan itu tidak kalah erat, ia juga mengelus sayang kepala Reva.

"Gue harus turun dulu ya, Rev?"

"Gak mau. Willy, Abang gue udah pergi. Gue gak punya siapa-siapa lagi sekarang. Tolong jangan pergi juga," jawab Reva yang masih menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Willy.

"Gue gak pergi, Rev. Gue mau turunin Abang lo ke kasur terakhirnya."

"Gak mau."

"Reva, lo ikhlas ya? Biar Raka tenang di sana sama Mamah."

Answer! - [ END ]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang