-18-

30 33 1
                                    

Seorang gadis remaja berjalan lemas memasuki pemakaman umum. Di tangannya ada sebuket bunga anyelir berwarna merah.

"Mah, apa kabar? Reva kangen Mamah. Reva mau cerita banyak sama Mamah."

Gadis itu meletakan buket yang ia bawa tepat di atas gundukan tanah merah yang tersusun rapih dekat nisan bertuliskan 'Mila Revanya Mahardika binti Agung Mahardika'.

Ia menarik napas sebelum memulai keluh kesahnya pada Mamah. "Waktu Mamah pergi, orang bilang semua akan baik-baik aja biar Reva dan Bang Raka terus menjalani hari seperti biasa. Dulu Reva percaya, sekarang nggak. Hari-hari Reva terasa berat tanpa Mamah. Gak ada lagi yang nenangin kalau Reva lagi merasa marah, takut, atau gak percaya diri."

"Cerita hari-hari Reva ke Bang Willy dan Kavi pun tetap Mamah pemenangnya. Mamah tau? Sekarang Reva udah mandiri, Reva rajin beresin rumah dibantu Bang Raka. Reva udah bisa masak walaupun rasanya gak pernah stabil. Ouh, iya, Bang Raka juga bisa masak lho, Mah, walaupun hasilnya berbeda dari tutor di youtube. Reva dan Abang juga udah mulai belajar ngelanjutin usaha Mamah, Abang kelola sekolah, Reva kelola butik. Kalau resort masih Tante Linda yang urus karena Reva belum berani megang. Mamah pasti bangga kan sama kita berdua?"

"Tapi, Reva gak bisa menguasai amarah Reva sejak Mamah gak ada. Mood Reva jadi gampang rusak sekarang dan itu ngaruh ke aktivitas Reva yang lain. Doakan, Mah, semoga Reva bisa aman di kelas dua belas nanti biar bisa wujudin permintaan Abang."

"Mamah ingat Kavi? Reva masih dekat dengan Kavi. Abang minta agar Reva lupain Kavi. Tapi, Reva gak tau harus dengan cara apa. Reva gak bisa. Seandainya Mamah masih ada, pasti Mamah akan nasehatin Reva dan Abang bahwa gak ada manusia di dunia ini yang pantas di lupakan. Mengikhlaskan itu jauh lebih baik." Gadis itu tertawa sumbang, "Reva hafal banget ucapan Mamah."

Diusapnya nisan itu dengan sayang, lalu membenarkan posisi duduknya. Matanya terpejam seraya mengangkat kedua tangannya berdoa. Gadis itu merapalkan doa begitu khusyuk. Setelahnya, ia taburkan bunga di atas gundukan tanah dan menyiramnya dengan beraturan.

"Sering-sering dateng ke mimpi Reva, ya, Mah. Reva rindu."

***

"Reva, lo kesini cepetan. Mumpung anak buah abang lo mau ajarin kita."

Gadis itu sempat menjauhkan ponselnya. Sejak kapan sahabatnya akrab dengan Bayu dan Gilang?

"Mereka nawarin diri?"

"Gak. Gue yang maksa. Kenapa? Jangan meragukan mereka, Rev. Gitu-gitu mereka anak sepuluh besar di kelasnya."

"Ada gue bilang gitu? Gak usah bawel, gue otw."

"Cep---"

"Ada Abang gue gak di sana?"

"Ada. Noh, dia lagi ngeracik kopi."

Tepat saat sambungan terputus, ia menyambar kunci motor dan bergegas pergi. Reva memang sudah tahu kepintaran dua sohib kakaknya, namun baru kali ini ia akan belajar bersama dengan mereka.

Semoga tugas kelompok kali ini bisa langsung selesai karena menurut pengalaman yang sudah-sudah, tugas kelompok tidak akan selesai dalam sekali pertemuan sebab Angel banyak bicara yang sangat mengganggu konsentrasinya.

"Hy, guys, sorry nunggu lama." Reva mendaratkan bokongnya di samping Gilang.

"Ada yang ingin dipesan, Rev?" tawar teman Raka yang bekerja sebagai pelayan. "Red velvet aja."

"Mau pake atas nama siapa?"

"Gak usah, langsung di antar kesini aja."

"ATAS NAMA AYANG!" sahut Raka dari tempatnya.

***

Detik demi detik berlalu, minggu terus mengulang waktu bertemu senin. Hari ini, tepat di Hari Senin Raka dan Willy siap bertempur dengan isi otak yang sudah terisi dalam waktu tiga tahun. Mulai hari ini hingga satu minggu kedepan, SMA Tranggana hanya akan terisi oleh siswa kelas 12 dan sisanya libur.

Raka dan Willy tidak seruang dimana Willy di ruang tiga dan Raka di ruang empat. Langkah Raka memelan melewati ruang tiga seiring matanya yang menatap Willy.

"Semangat, Bro." Sebuah tepuk penguatan menyentuh bahu Willy dua kali. Willy membalas senyum sepupunya itu. "Semangat, Ka."

Suara Pak Acep di lapangan beberapa menit lalu selaku kepala sekolah masih terekam jelas dalam ingatannya.

"Kalau berjuang itu hatinya harus lapang, gak boleh nyimpan dendam dan amarah agar berkah. Bagian terpentingnya adalah kalian harus berani meminta maaf dan meminta doa kepada orang-orang sekitar kalian, orang tua, dan juga guru karena kita gak tau doa siapa yang akan Tuhan kabulkan. Maafkan juga kesalahan orang lain terhadap kalian. Sukses buat anak-anakku semua. SELAMAT BERJUANG!"

Sejenak ia lupakan kecanggungan yang ada antara ia dan Willy. Sejenak ia redam rasa cemburu yang kian membesar kepada adiknya.

***

Mengingat Reva masih kelas sebelas dan libur, ia memutuskan berlibur keluar kota, tentunya dengan seizin Raka. Reva tidak berbohong saat mengatakan ia akan pergi bersama dengan Angel walaupun pada kenyataannya Kavi lah yang mengajaknya.

Jarak Bandung-Jakarta yang memakan waktu tiga jam Reva habiskan untuk tidur, katanya takut mabok stella. Berbeda dengan Angel yang sibuk mengoceh.

"Kavi, kalau tiba-tiba pondasinya gak kuat gimana ya? Pasti bakal makan banyak korban jiwa apalagi yang posisinya di bawah pasti hancur duluan," celotehnya sambil mengamati gedung-gedung tinggi pencakar langit.

"Kok bisa ya, Kav, orang-orang bikin gedung tinggi kayak gitu? Uangnya banyak banget dong?"

"Kalau semisal ibu kota dipindah, nanti gedungnya gimana? Bakal dihancurin gak, Kav? Tapi, kalau dihancurin kan sayang mending kasih ke gue aja."

"Punya apa lo buat kelola gedung itu?" sahut Kavi malas. Mata gadis di belakangnya itu melebar, tidak menyangka mendapat respon seperti itu. Apa dia merendahkan Angel?

"Sialan, lo!"

Kavi terkekeh, ia tetap menikmati jalan Jakarta yang padat walaupun ocehan Angel terus mengusik pendengarannya. Tidak ada musik menyala sebab Kavi memtuskan mematikannya sejak Reva tidur.

"Mending lo tidur, deh, Ngel."

"Idih, ngapain. Emang masih jauh? Lagipula gue masih asik merekam pemandangan disini dalam ingatan gue."

"Buat apa bawa kamera kalau gitu? Gak ada yang tau kan kalau tiba-tiba lo amnesia. Sia-sia nanti gue dan Reva ajak lo ke sini."

Di belakang, Angel menggeram kesal tanpa suara. Tanganya terangkat meremas angin seakan ingin meremat kepala Kavi. Sepupunya itu memang senang membuatnya naik pitam. Andaikan Kavi se-so sweet Willy ke Reva, bisa dipastikan gadis itu tidak akan gonta-ganti pacar lagi, cukup dengan sepupu rasa pacar saja.

"Gue laporin lo ke emak lo, Kav," ancamnya.

"Dasar ngaduan."

***

Yuk, yuk, lanjut yuk🛴

Bacanya jangan di loncat" Ya bestie

Next🚀

Answer! - [ END ]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang