-8-

43 47 2
                                    

"Kemarin yang bersihin rumah siapa? Bersih banget," tanya Raka tiba-tiba.

"G-gue, Bang. Tapi, dibantu Kavi juga." Reva tidak berbohong kan? Biasanya memang Reva yang bertugas dan baru kemarin Kavi ikut andil, tepatnya memang ia yang ambil alih.

Tepat satu minggu berlalu setelah Raka yang tak curiga akan kebersihan rumahnya yang melebihi dari biasanya dan Willy yang sudah sembuh dari meriangnya yang ternyata hanya berlangsung sehari.

Hari ini tidak ada Kavi yang bermanja ria atau tebar pesona pada Reva di sekolah. Menurut informasi wali kelasnya, Kavi izin tidak mengikuti pembelajaran hari ini sebab ia harus pulang ke Medan untuk menjenguk neneknya yang sakit.

"REVA!" Yang dipanggil menoleh mendapati sepupunya yang sedang berdiri di ambang pintu kelas di ujung sana. Jarak kelas Reva dan para abangnya dari ujung ke ujung. Wajar kalau saat ini beberapa orang di sepanjang koridor lantai dua tertuju pada teriakan Willy. Kirain ada apa.

"SINI!"

"Berisik, tinggal samperin aja mager banget," cibir Reva dari tempatnya berdiri. Ia merogoh sakunya, mengambil ponselnya dan menghubungi Willy.

"Gak usah teriak-teriak, berisik tau. Kelas sebelah masih ada gurunya."

"Mager tau nyamperin lo, jauh. Mending gue teriakin aja sekalian berhubung kelas kita juga berseberangan."

"Ck! Kenapa lo manggil gue?"

"Gapapa. Kantin yok!"

"Abang gue kemana emang?"

"Yaelah, Abang lo lagi asik tuh sama Gilang dan Bayu. Tau tuh lagi ngomongin apaan."

Terdengar kekehan dari seberang sana dan Willy melihatnya. "Gak nguping aja? Kan biasanya lo gitu."

"Eumm..sedikit."

"Lagi pada ngomongin apa mereka?"

"Kantin dulu aja, deh. Nanti gue ceritain." Tiba-tiba Willy sudah berada di belakangnya dan menggeret tangan Reva tanpa terima penolakan. Sepertinya ia terlalu fokus piket menyapu depan kelasnya hingga tidak menyadari keberadaan sepupunya itu. Jadi, sepulang sekolah nanti ia tidak perlu piket lagi.

Suasana kantin belum terlalu ramai padahal sudah jamnya istirahat. Ternyata masih banyak kelas yang belum keluar.

"Jadi, gimana?" tanya Reva yang sedang menuangkan sambal ke dalam mangkuk baksonya. Willy menghtungnya dalam hati, lima sendok makan sambal.

"Gue cuman denger sekilas doang, sih, kayak lagi ngomongin cewek gitu."

"Lah? Di antara mereka ada yang lagi deket sama cewek? Gue kira mereka semua homo, njir." Reva tertawa mendengarnya.

"AHAHAHA, goblok, anjir. Tapi, gue juga belum tau pasti, sih, siapa yang lagi kasmaran."

"Kayaknya Abang gue, deh. Secara belakangan ini dia kayak semangat banget buat ke kafe dan lebih sering nginep di rumah temennya. Sekalinya gak nginep pulangnya larut banget."

"Gak tentu, Rev. Positive thinking aja, mungkin tujuan Abang lo nginep itu buat bangun chemistry sama temen-temennya. Lo kan tau sendiri, setiap orang beda cara adaptasinya." Willy menyeruput es jeruk miliknya yang baru datang.

"Emang dia gak mikirin gue? Apa karena gue nyusahin dia mulu kali, ya, di rumah?"

"Lo gak nyusahin dia. Itu artinya secara gak langsung dia ngajarin lo untuk terbiasa mandiri dan gak bertergantungan dengan orang lain. Dan cara itu yang dia pilih."

"Tapi, kan gue jadi kesepian di rumah."

"Kan kadang Kavi, gue sama temen-temennya Bang Raka main ke rumah lo. Ada Angel juga."

"Ya masa kalian semua mau ke rumah gue tiap hari. Walaupun ada Angel kan kalian semua cowok. Nanti apa kata tetangga, njir."

"Iya juga, sih. Kalo gak lo aja yang ke rumah gue."

"Abang gue gak ngijinin kalo nginep."

"Ha?" Willy ngebug seketika. Merasa entah dia yang salah dengar atau karena otaknya yang spontan memberi sinyal negatif. Bahkan bakso yang siap disuap ke mulutnya kembali jatuh ke dalam kuah.

"Alasannya?"

"Dia gak mau ngerepotin keluarga lo, kalo sekadar main gapapa. Dia nyuruh gue buat tetep di rumah biar rumah ada yang jaga, soalnya banyak barang-barang peninggalan Mamah. Dia juga gak suka suasana rumah yang gak ditempatin sehari aja, katanya terasa singup."

"Ck, gak habis pikir gue sama gengsi Abang lo. Padahal kita masih saudara dekat. Gak ada kata ngerepotin bagi keluarga gue ke kalian berdua, Rev."

Reva hanya mengaedikan bahunya singkat, ia tidak tahu harus merespon apa. Sebenarnya Reva pun tidak masalah dengan uluran panjang keluarga Willy yang sudah sangat sukarela. Tapi, apa boleh buat, selama hidupnya masih bertumpu pada Raka berarti ia harus mengikuti peraturan kakaknya bukan?

Hening setelahnnya. Keduanya kini tengah disibukan dengan isi kepala masing-masing. Hanya ada kuah bakso yang terus terombang ambing di wadahnya dan es jeruk yang kian surut menyisakan es batu.

***

Di tengah Reva dan Angel yang sedang menikmati seblak dihadirkan wangi khas parfum sang kakak yang semerbak. Siapa lagi kalau bukan Raka.

Laki-laki itu tampak rapih keluar dari kamarnya dengan tas sekolah yang hanya bertopang di bahu kirinya.

"WEHH! Abang gue udah ganteng banget. Mau kemana lo, Bang?"

"Semerbak amat bau lo!" komen Angel.

"Iya, dong. Mau kerkom, nih." Ia menaik turunkan alisnya sok kegantengan. Kemudian matanya beralih pada Angel, rautnya pun berubah sinis. "Apa, sih, lo nenek lampir!"

"Mau kerkom atau cari mangsa?" sindir Angel.

"Berisik lo, ah!" Sudah rapih dengan mood yang baik dirusak begitu saja dengan ocehan Angel, ditambah tali sepatunya yang tak kunjung terikat rapih.

"Lah, lo gak kerja?"

"Tenang aja, gue tetep kerja kok. Gue udah ijin tadi. Kan gue kerja juga buat adik tersayang gue ini," ucapnya sembari mengacak gemas rambut Reva. Agak iri, sih, Angel lihatnya. "Gue berangkat, ya. Mobil gue bawa, nanti kalo lo mau pergi pake motor aja."

Tumben.

***

"Assalamualaikum bahan bully." Kurang ajar, batin Reva saat mendengar teriakan Willy yang menggema di setiap sudut rumahnya. Bahkan Angel yang baru tuntas dengan panggilan alamnya pun hampir terpeleset.

"BUSET, DAH! ADA APAAN, SIH, REV?!"

"Ini ada Bang Willy datang!"

"WAHH! EMANG KURANG AJAR. TUNGGU GUE KELUAR HABIS LO!" Tanpa diduga Willy justru tertawa mendengar sewotan Angel dari kamar mandi. "IYA, INI GUE TUNGGUIN SAMBIL BERDUAAN SAMA BESTIE LO!"

Reflek Reva menoyor kepala sepupunya yang masih tertawa, "si goblok!"

"Aduh, jangan kasar dong. Nih, gue bawain boba. Gue juga bawa gitar."

"Makasih bobanya, gue gak terima pengamen di sini, pulang sana." Tanpa rasa bersalah ia justru menikmati boba pemberian Willy seenaknya. "Enak, sering-sering ya."

"Sialan, gue dikatain pengamen. Ya, buat hiburan lah. Gue mau lo dengerin gue nyanyi, baru nanti gue beliin boba lagi."

"Capek diPHP-in para abang."

"AHAHAHA, kesian." Willy berusaha untuk menahan tawanya. Tapi, lagi-lagi otaknya menyuruhnya untuk mengeluarkan apa yang melintas di kepalanya. "Yang sabar, ya, Rev. Udah yatim piatu, temennya cuman satu, masih terikat dengan mantan, bahan bullyan para abang, jadi korban PHP-nya pula." Lepas sudah tawa yang sejak tadi tertahan.

BUGH!

Tepat satu tinjuan mendarat mulus di dada cowok itu.

"REVA?!"

***

Next🚀

Answer! - [ END ]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang