Tujuh

55.7K 1.9K 14
                                    

07. Kerja kelompok

Vano memutar pulpen di sela sela jarinya. Matanya tertuju pada Sheira yang asik memecahkan soal matematika di bukunya. Vano menikmati setiap ekspresi yang tercetak di wajah gadis itu. Bibir cherry nya akan mengerucut ketika dia merasa bingung, dan kedua alisnya akan menukik saat dia tidak berhasil memecahkan rumus matematika dari soal yang diberikan.

Sheira mendesah sebal. Dia balas menatap Vano dengan tatapan tajam. Jelas dia risih dengan tatapan intens dari laki laki itu. Dia menodong pulpen tajam nya ke hadapan Vano. "Sekali lagi lo natap gue, gue colok mata lo!" Dia mendekatkan pulpen tersebut, mengancam.

Bukannya merasa takut, Vano malah menyeringai. Menurut nya Sheira terlihat lucu sekarang, mata sipit itu mencoba melotot kepadanya agar terlihat garang.

Vano mengigit ujung pulpen Sheira. Dia mengamati ekpresi Sheira yang berubah menjadi jijik.

Sheira sontak melepaskan pulpen itu dari genggaman nya. "Jorok!" Dia memukul kepala Vano dengan buku paket matematika milik nya.

Tawa Vano lepas. Dia tertawa sampai kedua matanya menyipit.

Sheira masih menatap Vano dengan pandangan jijik. Dia menurunkan bukunya kembali. Sejenak Sheira tertegun, Vano jauh lebih tampan berkali-kali lipat saat tertawa. Ini kali pertama Sheira melihat pemuda batu itu tertawa lepas. Dia juga baru menyadari lesung pipi yang tercetak di pipi kanannya saat dia tertawa.

Sheira menggelengkan kepalanya membuang pikiran itu jauh jauh. Vano tetaplah Vano. Setampan apapun, dia tetaplah pemuda batu menyebalkan yang suka menunggak uang kas. Sama sekali bukan tipe nya.

"Abang jangan ketawa melulu. Belisik! Kuping Lala cakit." Kepala Lala muncul dari kolong gazebo kayu yang berada di belakang rumah Naura. Entah apa yang dilakukan oleh anak itu.

Sheira kembali fokus ke buku paketnya. Dia mengambil pulpen yang baru. Kali ini Vano berhenti menatapnya dan ikut membantunya mengerjakan tugas. Otak pemuda itu tidak bisa di remehkan. Dengan cepat Vano menjawab soal soal tersebut tanpa kesulitan. Seakan semua rumus matematika sudah tertanam di otaknya.

Kali ini gantian Sheira yang lebih banyak memperhatikan Vano. Dia tidak munafik jika Vano memang sangat tampan, apalagi jika sudah mode serius seperti ini.

Sheira membayangkan bagaimana jadinya paras anak anak Vano nanti. Pasti mereka akan menawan seperti ayahnya ini. Apalagi jika otak encer Vano ikut menurun kepada anak anaknya. Pasti akan sangat sempurna.

Vano menahan kedutan di sudut bibirnya. Kepalanya bergerak mendekat ke wajah Sheira yang masih melamun. Nafas hangatnya menerpa wajah Sheira.

Vano menyelipkan anak rambut Sheira ke belakang telinganya.

Sheira mengerjapkan matanya. Dia baru menyadari jarak wajah mereka sangat dekat. Tangannya terulur mendorong dahi Vano menjauh. Dia membuang muka. Pipinya terasa panas.

Vano tertawa pelan. "Gemes."

"Udah cepat kerjain lagi!" Sheira merampas buku paket yang ada di pangkuan Vano. Kepalanya menunduk dalam, tidak ingin pipi merahnya terlihat oleh Vano.

- 𝓑𝓾𝓷𝓭𝓪 -

Kaki jenjang itu melangkah memasuki sebuah ruangan mewah yang di dominasi oleh warna coklat. Dia melepas jas mahal yang sedari tadi melekat di tubuh atletis nya, lalu mengendurkan dasi yang melingkar di lehernya.

Mata tajamnya melirik tumpukan dokumen di atas meja. Helaan nafas kasar terdengar. Belum setengah hari dia meninggalkan kantor, pekerjaannya sudah semakin menumpuk. Pria itu meraih salah satu dokumen lalu membacanya.

𝐁𝐔𝐍𝐃𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang