Delapan belas

44.2K 3.5K 36
                                    

18. Cemburu tanda apa?

Agnes membuka pintu kamar Naura. Kakinya melangkah dengan pelan agar tak mengusik wanita itu. Wajah nya nampak lelah. Ia duduk di sisi kasur. Ruangan itu sunyi. Agnes menikmati keterdiaman nya sambil menatap Naura yang masih dalam pengaruh obat. Walau belum mengenalnya, dia tahu bahwa ia merupakan perempuan yang baik. Setetes air mata mengalir di pipinya. Tangannya bergerak membelai rambut Naura.

"Darlin"

Agnes segera menghapus jejak air mata di pipinya. Menoleh ke ambang pintu dengan senyum lembut pada suaminya. Ia bangkit, keluar dari kamar. Jovan menarik tubuh pujaan hatinya. Mendekap erat sambil mencium pucuk kepalanya.

"Kesalahan apa yang telah aku perbuat? mengapa anak anak kita yang selalu mendapat karmanya." Agnes terisak di dada suaminya, menyalahkan diri.

"Apa yang terjadi sama sekali bukan salahmu. Ini sudah takdir. Kamu sudah melakukan apa yang bisa kamu lakukan. Itu sudah cukup." Jovan berucap sambil mengelus punggung istrinya menenangkan. Mental istrinya sudah terguncang setelah kematian putri sulung mereka. Agnes terus menyalahkan dirinya sendiri. Jovan tidak ingin ia kembali menyalahkan dirinya atas persitiwa ini. "Kita jalani semuanya bersama-sama," katanya sambil memejamkan mata.

*

Di sisi lain, David menatap udara kosong. Semilir angin malam menusuk pori pori kulitnya tak ia hiraukan. Bibirnya terkatup. Pikirannya melayang membayangkan pertemuan pertamanya dengan Naura dan Lala di restoran hari itu, ia tak pernah bosan mengingatnya. Sesekali menarik nafas panjang. Kesadarannya kembali saat benda di saku celananya bergetar. Ia meraih benda tersebut dengan tatapan penuh harap. "Apa kau menemukan sesuatu?" David bertanya dengan tidak sabar.

Ia menipiskan bibirnya. Matanya melotot tak puas mendengar jawaban dari sebrang sana. "Cari informasi apapun tentang orang yang datang, atau sekadar mendekati rumah Naura selama seminggu belakangan." David mematikan sambungan telepon lalu meremas benda persegi tersebut dengan marah. Pencaharian yang dilakukannya sejak pagi belum juga membuahkan hasil.

Peristiwa hari itu benar-benar tak meninggalkan jejak apapun. David hanya memiliki video dan foto yang dikirimkan orang misterius sebagai bukti bahwa hari itu–pengecualian dengan Lala— benar benar terjadi.

"Papa,"

David berbalik, senyumnya tercetak. Ia berlutut di hadapan Lala yang menatapnya dengan sayu. Tangan nya bergerak menutup mulutnya yang terbuka.

David bangkit dari lantai bersama Lala di gendongannya. "Ngantuk, hm? ayo kita tidur." Ia membaringkan tubuh Lala di kasur lalu ikut berbaring di sebelah nya.

Anak itu tersenyum senang. "Papa pasti capek." Tangan kecilnya terulur memeluk tubuh besar David. "Kata bunda, kalo kita meluk orang yang capek, capek nya bakal hilang."

David terkekeh sambil menyelipkan tangan kanannya di belakang kepala Lala, membuatnya semakin meringkuk di dadanya.

"Grandpa sama Grandma baik loh, Pa. Grandma ajak Lala masak sambil cerita cerita. Grandpa sama abang nunggu di meja makan," ceritanya dengan antusias. "Setelah nyobain masakan Lala, abang nyuruh Lala buka restoran. Itu artinya apa?"

David mengelus rambut Lala, "Itu artinya makanan buatan Lala enak dan layak diperjualbelikan. Kalo ada yang beli, Lala akan dapat uang."

"Berarti kalo banyak yang beli, Lala jadi orang kaya, dong. Lala mau buka restoran!" Ia berseru dengan semangat. Tidak sabar melihat tumpukan uang yang banyak.

"Lala mau menjual makanan apa?"

Lala menaruh jari telunjuknya di dagu dengan gestur berfikir. "Pasta! Lala mau jual pasta yang tadi Lala bikin."

𝐁𝐔𝐍𝐃𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang