Dua puluh satu

41.2K 1.4K 40
                                    

21. Sadar

David menatap tubuh Naura yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Ia panik mendapati Naura kejang kejang dan sesegera mungkin membawanya ke rumah sakit. Ia mengusap wajahnya kasar dan menarik nafas panjang. Kepalanya mendongak saat ujung matanya melihat sepasang sepatu berhenti di sampingnya.

Ia memandang Vano yang baru tiba dan balas memandangnya. Tubuhnya otomatis berdiri tegak, setelah kejadian hari itu, Vano benar benar menjauhinya. Sudah beberapa hari ia tidak bertemu dengan putra sulungnya itu. "Devano," panggilnya dengan suara yang mengandung keraguan.

Vano tidak membalas, namun ia tetap diam di tempatnya menghadap David.
David menahan senyum lega, ia maju beberapa langkah. "Papa minta maaf telah mengecewakan kamu," katanya dengan sungguh-sungguh.

Vano menatap lantai yang tiba-tiba terlihat sangat menarik. Perasaan bersalah dan malu memenuhi benaknya, lebam di wajah David belum juga hilang, membuatnya merasa tidak nyaman.

David yang menyadari gerak-gerik Vano terkekeh. Ia menyentuh bercak ungu di pipinya. "Tidak perlu merasa bersalah, wajar jika kamu memukul Papa."

Vano mengangguk dan mulai mengangkat kepalanya.

"Duduklah." David menunjuk sofa yang ada di pojok ruangan tempat Naura di rawat. Vano mengikuti intruksi sang ayah. David menyusul, ikut duduk di sofa panjang di samping Vano. "Papa tidak akan bosan meminta maaf pada kamu dan Lala, terlebih pada Naura. Papa sangat menyesal. Papa mengerti kamu kecewa, tapi sekali lagi papa minta maaf karena merahasiakan masalah sebesar ini."

"Vano juga minta maaf, Vano kebawa emosi," katanya penuh sesal sambil melirik lebam di wajah David.

David tersenyum dan menarik pundak Vano lalu mendekapnya. Ia menepuk punggung lebar pemuda itu sambil meringis, menyadari waktu telah berlalu begitu cepat. "Kamu sudah besar." Tangan David berpindah menjadi mengelus kepala belakang Vano. Vano memejamkan mata menikmati kasih sayang Papanya yang jarang sekali diperlihatkan secara gamblang.

Pelukan itu terlepas saat suara ringisan pelan terdengar dari arah kiri. David meloncat, berlari menuju ranjang tempat Naura berbaring. Ia mendapati Naura yang tengah melihat langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Tak lama, tatapan itu beralih padanya.

Naura mengerjap. Tangannya bergerak menyentuh kepalanya yang terasa seperti ditusuk.

"Jangan bergerak, saya akan panggil dokter. Vano! jaga Naura." David berlari meninggalkan Naura bersama Vano untuk memanggil dokter. Seketika lupa dengan tombol pemanggil yang ada di dekat ranjang.

Dengan ragu Vano melangkah mendekati Naura yang kini menatapnya. Bibirnya terbuka hendak bicara, lalu terkatup lagi. Tak berselang lama, David datang bersama Agnes di belakangnya. David menarik Vano mundur, memberi ruang agar Agnes bisa mengecek keadaan Naura.

"Naura, kamu bisa mendengar suara saya?" Agnes bertanya.

Naura mengedipkan matanya sebanyak dua kali. Setelah itu, Agnes segera mengecek seluruh keadaan Naura dan membuang nafas lega. Ia berbalik menghadap putra dan cucunya. Mulai memberi ceramah tentang segala hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan, atau dimakan oleh Naura.

David mendengarkan dengan cermat setiap kata yang terucap dari bibir Agnes lalu mencatat di kepalanya baik-baik. "David mengerti. Terimakasih, Ma."

Agnes merapihkan selimut yang dipakai Naura lalu mengelus rambutnya. "Kamu istirahat dulu, jika butuh apapun, panggil David atau Vano. Jika tidak mau bertemu mereka, pencet tombol yang ada di sini," Agnes menunjukkan alat nurse call sambil melirik David.

David berdehem lalu mengalihkan pandangannya.

"Mama pergi dulu. Kalian berdua," Agnes menunjuk Vano dan David. "Tunggu di luar! jangan ganggu Naura."

𝐁𝐔𝐍𝐃𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang