Dua puluh tiga

48.3K 1.5K 41
                                    

23. Nasihat kakek

Vano berjalan memasuki rumah Naura bersama dengan Zayyan. Ia melirik Jovan yang tengah menonton televisi, disampingnya terdapat Lala yang tengah bermain boneka. Vano melangkah maju, menyapa kakeknya kemudian duduk di sebelahnya.

"Sudah puas?" sindir Jovan, Vano meringis kemudian menyengir.

Lala yang baru menyadari kehadiran Vano dengan riang berkata, "wah!sekarang abang ingat jalan pulang!" Ia meloncat dari kursi dan mendekati Vano. "Lihat! Lala punya boneka baru, lucu kan?" Lala menggoyangkan bonekanya. Vano mengernyit geli, kemudian melirik Jovan yang acuh. Ini pasti ulahnya.

"Abang," Lala merengek karena Vano bereaksi tak sesuai harapannya.

"Iya sayang, bonekanya lucu kaya Lala." Vano menahan diri agar tidak tertawa. Adiknya ini polos sekali.

Lala mengangguk senang karena Vano menyebut bonekanya lucu. Matanya terbelalak saat melihat Zayyan. "OM AYAN!" Lala beteriak dramatis sambil berlari ke arahnya. Ia memeluk kaki Zayyan sambil menyengir. "Om kemana aja? Lala rindu tau." Lala mendongak, menatap Zayyan yang jauh lebih tinggi.

Zayyan mengusak rambut Lala gemas. Ia benar-benar makhluk kecil yang menyebalkan. Tingginya hanya mencapai pinggangnya.

Lala mengendus-endus bau yang berasal dari tubuh Zayyan lalu menatapnya curiga. "Om makan apa? hayoo nggak boleh bohong, nanti lehernya panjang."

Zayyan tergagap. Bagaimana bisa Lala mencium aroma cilok yang telah habis dimakannya. Ia bertanya-tanya setajam apa hidung anak itu. "Saya tidak makan apa apa, nona."

"Bohong! buktinya hidung om ngembang."

Dia meringis sambil menyentuh hidungnya. "Saya makan cilok, nona."

"Cilok itu apa?" Lala bertanya penasaran. "Om beli cilok dimana? Lala juga mau." Matanya berkedip-kedip.

"Aci di colok, eh." Zayyan memukul mulutnya. "Cilok adalah sejenis makanan ringan kaki lima. Teksturnya kenyal dengan perpaduan rasa gurih, pedas, dan manis yang sangat memanjakan lidah." Zayyan menjelaskan sambil membayangkan cilok yang telah dimakannya.

Lala menjilat bibir bawahnya. Uh. Kedengarannya lezat. "Ayo kita beli cilok!" Ia memegang tangan Zayyan dengan penuh harap membuat lelaki itu berfikir sejenak. Kemudian ia berkata, "izin dulu sama grandpa."

Lala dengan cepat berlari menuju kakeknya. Setelah mendapatkan izin, ia mengecup pipinya kemudian menarik Zayyan keluar. Sepeninggal Lala, Jovan menatap Vano yang sedari tadi ikut menonton televisi bersamanya. Sudah lama Jovan tidak melihat cucunya sedekat ini. Semenjak tinggal bersama David, Vano jarang mengunjungi rumahnya. Dan jika dia berkunjung, ia selalu berada luar kota atau negeri untuk mengurus pekerjaannya.

"Sudah bertemu dengan Naura?" Jovan melemparkan pertanyaan untuk membuka percakapan. Ia mendapatkan kabar dari istrinya bahwa Naura telah sadar.

"Sudah," jawab Vano. Dia mengingat kembali saat Naura sadar dari pingsannya. Namun, ia belum sempat mengobrol dengan Naura karena khawatir dia akan terganggu dengan kehadirannya. "Vano juga sudah bicara dengan papa," tambahnya.

Jovan terdiam mendengarkan perkataan cucunya.

"Kami sudah berbaikan. Rasanya canggung. Papa masih berada di rumah sakit menemani bunda." Vano menyenderkan punggungnya ke sofa.

"Tidak perlu terlalu khawatir, semua akan membaik seiring berjalannya waktu." Jovan menepuk-nepuk pundak Vano. "Kamu sudah dewasa, Devano. Grandpa yakin kamu bisa menyikapi semua ini dengan baik. Sekarang kamu sudah menjadi seorang kakak."

"Grandpa dengar, kamu sedang dekat dengan seorang gadis, benar?" Ia melirik ekspresi Vano yang menegang. "Jika kamu serius dengannya, kenalkan dia pada keluarga."

𝐁𝐔𝐍𝐃𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang