Sembilan

56.4K 4.9K 52
                                    

09. Weekend

Naura mengumpulkan rambut nya menjadi satu lalu mengikatnya menjadi ekor kuda. Dia melapisi bajunya dengan jaket berwarna biru, kemudian memoleskan lip balm transparan di bibir tipisnya. Setelah memastikan penampilannya cukup rapi, Naura melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Sudah satu minggu setelah pertemuannya dengan Mawar. Mereka berbagi nomor telepon dan berjanji akan menghabiskan waktu bersama lagi lain waktu.

Langkah Naura melambat seiring matanya menangkap punggung tegap milik seorang lelaki yang duduk bersama dengan putrinya di sofa. Lelaki itu mengenakan kaos hitam yang mencetak tubuh kekar nya dan celana training berwarna senada, cukup santai namun terlihat tetap rapih. Entah angin apa yang membawa lelaki itu datang ke rumahnya kemudian mengajaknya untuk lari pagi di alun alun kota.

"Siap?"

David bangkit dengan Lala di gendongannya. Mereka berjalan beriringan menuju pintu. Naura tersedak ludah nya saat melihat motor besar berwarna hitam yang tersonggok di halaman rumah. Dia menatap David yang terlihat santai.

"Kita naik motor?" Lala mencengkram lengan kaos David membuat lelaki itu mengangguk. Lala bersorak girang. Sudah lama dia memiliki keinginan untuk naik motor besar seperti milik Vano.

Naura masih terdiam hingga David menggandeng tangannya mendekati motor itu. Dia menaruh tubuh Lala di bagian depan motornya lalu ikut naik bersamanya. Kepalanya menoleh ke belakang, tepatnya ke arah Naura yang masih terdiam. "Ayo!"

Dengan ragu Naura menyentuh pundak David sebagai tumpuan lalu mendudukkan bokongnya di jok. Posisi ini membuat dia mencium dengan jelas aroma pinus dan woody yang membuat tubuhnya rileks.

David mulai menjalankan motornya membelah jalanan kota. Sesekali dia menimpali ucapan Lala yang bertanya tentang segala hal yang tertangkap oleh penglihatannya. Di belakang David, Naura menahan diri untuk tidak menyenderkan kepalanya di punggung David yang terlihat sangat nyaman jika dijadikan sandaran.

Setelah menempuh perjalanan selama 15 menit, ketiganya tiba di sebuah tempat yang cukup ramai. David membuka helm lalu menyugar rambutnya ke belakang. Wajah dan penampilan nya sama sekali tidak mencerminkan duda satu anak yang sudah menginjak bangku SMA. Dia terlihat tampan dan sangat––sexy.

Naura turun terlebih dahulu disusul oleh David yang menurunkan Lala. "Siap lari?" telunjuknya menusuk pelan pipi gembul anak itu.

"SIAP!" Lala menjawab dengan semangat penuh. Mereka melakukan peregangan sejenak sebelum memulai lari.

"GO!" Lala berlari terlebih dahulu meninggalkan David dan Naura yang mengejarnya di belakang.

"Mas gak kerja hari ini?" Tanya Naura berbasa-basi. Tatapannya tertuju pada wajah David yang terpahat sempurna.

"Saya libur" David masih tetap mempertahankan kecepatan larinya agar setara dengan Naura, matanya tak lepas dari punggung Lala yang sedang berlari kecil di depan sana.

"Vano dimana? Kok nggak ikut?"

"Entah, anak itu sudah tidak ada di rumah sejak saya bangun," jawab David dengan suara beratnya. "Kamu belum sarapan, kan?"

Naura menggeleng. "Mau sarapan di sini atau di rumah?"

"Kita beli di sini saja, jadi kamu tidak perlu memasak sarapan lagi," jawab David. "Kamu suka bubur?"

"Suka, mau makan bubur aja?"

"Boleh, kebetulan di sini ada tukang bubur langganan saya."

"Mas sering ke sini?"

David menggeleng. "Dulu iya, sekarang tidak lagi."

"Kenapa?"

David melambatkan laju larinya, kemudian berjalan santai, telapak tangannya menyentuh tangan Naura. "Saya sibuk."

Naura menatap tangan kanannya yang tenggelam oleh tangan besar David, hangat. David membawa dirinya menuju Lala yang duduk di salah satu kursi taman. Lala nampak bersenang senang, lekungan manis di kedua sudut bibirnya tidak surut sejak tadi. Matanya berbinar seakan sudah lama menantikan hari ini.

Lala berdiri kemudian menggandeng tangan David. "Ayo papa juga pegang tangan bunda," pintanya dengan sedikit merengek.

Tanpa bicara David meraih tangan Naura lalu menyelipkan jari jari nya di sela jari Naura. Naura membuang mukanya ke samping. Berani bertaruh bahwa saat ini mukanya berwarna merah.

Beberapa kali bisik bisik terdengar yang menyatakan bahwa mereka adalah keluarga bahagia dengan satu anak perempuan yang ramah.

Beberapa menit kemudian ketiganya sampai di sebuah tempat makan yang ada di pinggir alun alun. David maju satu langkah untuk menyapa penjual bubur langganan nya sejak dia SMA. Penjual bubur itu terlihat sudah sepuh namun semangat berjualan nya tidak pernah pudar.

"Pakde," panggil David dengan suara yang berat. Pria paruh baya itu menghentikan gerakan tangannya yang menggosok mangkuk lalu berbalik badan. Matanya melebar melihat tubuh David yang menjulang didepannya. "Apid?" Kedua tangannya terentang ke depan menyambut David.

David sedikit terkekeh lalu menarik tubuh bapak itu ke arahnya. "Apa kabar, pakde?"

Bapak itu menepuk pundak David dengan riang. Dia menjauhkan tubuhnya lalu menatap David yang kini sudah banyak berubah. Yang dia ingat, David adalah remaja nakal yang setiap hari minggu membeli buburnya setelah berolahraga bersama dengan teman temannya. Kini dia tumbuh menjadi pria dewasa yang berkharisma.

"Sudah lama kamu gak pernah beli bubur pakde, kemana aja kamu?"

David menyentuh tengkuknya, senyum kecil tersungging di kedua ujung bibirnya. "Saya jarang ada di rumah, pakde," dia menjawab sambil memperhatikan sekeliling dan menyadari tak ada yang berubah sejak terakhir kali dia datang.

Kumis putih bapak itu bergerak seiring tawa yang keluar dari celah bibir nya. "Waduh, sekarang udah jadi orang sibuk, ya." Dia melirik dua perempuan di belakang David. "Ini istri dan anak mu, pid?"

Naura menggerakan tangannya membantah ucapan itu. "Saya temannya mas David, pak, dan ini anak saya, Lala," balasnya cepat sambil melirik David canggung.

Bapak itu manggut manggut lalu mempersilahkan mereka untuk duduk.

David mengambil dua kursi untuk Naura dan Lala sebelum menuju tempat duduk yang lain. Tangannya mengambil satu tusuk sate ampela dari dalam kotak lalu memakannya.

"Saya Hegar, dulu kalo abis olahraga di alun alun David sering beli bubur di sini. Dia selalu mesen dua mangkuk, katanya biar kenyang." Bapak itu memasukan beberapa centong bubur ke dalam mangkuk. "Apalagi kalo kesini bareng temen temennya, udah deh, berasa mau tawuran, rame."

Naura mendengarkan dengan rasa ingin tau, tersenyum dan terkekeh pada saat yang tepat. Ekor matanya kembali melirik David yang masih sibuk memakan sate.

Naura mengucapkan terimakasih lalu mengambil mangkuk bubur dari tangan pak Hegar. Dia mengaduk bubur tersebut lalu menambahkan beberapa sendok sambal. Dia beralih ke mangkuk lala dan menuangkan sedikit kecap di atasnya, kemudian mengaduk nya hingga semuanya tercampur.

David memperhatikan gerakan tangan Naura, dahinya sedikit mengerut.

Pak Hegar yang menyadari ekspresi David tertawa keras. David tidak pernah berubah. Mimik wajah itu dulu sering dia lihat setiap David melihat temannya mengaduk bubur. Dia menyentuh pundak David, menepuk nya pelan kemudian berlalu menuju gerobaknya.




















Bersambung....

Marhaban tiba...

Marhaban tiba...

Marhaban tiba...

Marhaban ya... Ramadhan...

Apabila ada kata yang meninggalkan luka, semoga pintu maaf masih bisa terbuka. Selamat menunaikan ibadah puasa bagi seluruh umat muslim di dunia 🙏

𝐁𝐔𝐍𝐃𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang