02. Om ganteng
Sebuah mobil hitam berhenti tepat di parkiran sekolah elite di kota itu. Semua orang yang berada di sekitar parkiran berhenti sejenak hanya untuk melihat siapa yang berada di dalam mobil.
Tak lama, Vano keluar dari dalam mobil. Sudah seminggu sejak Naura menolong Vano. Sejak hari itu, Vano akan menyempatkan waktu untuk mampir ke rumah Naura.
Pagi ini Naura menawarkan diri untuk mengantar Vano ke sekolah. Kebetulan sekolah Vano se arah dengan kantor catering nya. Tentu pemuda itu dengan cepat menerima ajakan tersebut. Motornya dia tinggal di rumah Naura, kemudian mereka berangkat menggunakan mobil.
Parkiran sekolah ricuh dengan asumsi para murid saat Naura menurunkan kaca mobilnya. Ada yang mengira Naura sebagai kakak Vano, tantenya, bahkan ada pula yang menyangka dirinya adalah sugar mommy Vano.
Vano berjalan acuh mendekati tiga pemuda berseragam putih abu yang tengah menongkrong.
"Widih, siapa tuh?" tanya salah satu sahabat Vano yang bernama Agra. Pemuda tengil satu itu menatap Naura berbinar.
"Pacar lo? gila! punya cewek diem diem aja," tambah laki laki berambut ikal di sebelah Agra, dia bernama Bagas.
Aldi, pemuda yang sedari tadi hanya diam ikut tertarik dengan percakapan itu. Dia juga penasaran dengan wanita yang ada di sebelah sahabatnya.
Naura melambaikan tangannya dari dalam mobil. "Halo, saya Naura."
Mendengar suara itu ketiganya tersadar dari pemikirannya masing masing.
"Halo," sapa mereka serentak.
"Kak, boleh nggak kalo aku melamar jadi suami kakak?" goda Agra yang membuat Vano memberikan tatapan tajamnya kearah nya. Yang mana membuat nyali pemuda itu menciut. "Bercanda. Biasa aja dong matanya," ucapnya dengan suara yang melirih di akhir.
Naura terkekeh lalu melirik jam tangannya. "Kalian bisa aja, saya pamit dulu, ya. Masih ada kerjaan"
"Hati hati,"
Naura memberi kode agar Vano mendekat. "Kalian belajar yang bener! saya pergi dulu, kamu jangan bolos!" setelah menjawil hidung Vano, dia segera mengemudikan mobilnya meninggalkan sekolah.
"Jiakh salting," goda Agra saat melihat kuping Vano memerah.
"Mau mati, lo!" geram Vano dengan tatapan tajamnya. Namun cuping telinganya semakin memerah.
"Udah udah jangan ribut, mending kita masuk. Bentar lagi bel." Aldi berlalu terlebih dahulu meninggalkan ketiga sahabatnya di belakang. Mereka langsung berlari menyusul Aldi.
Saat keempatnya memasuki kelas, netra Vano tertuju pada seorang perempuan dengan rambut berkembang satu. Perempuan itu memegang buku kematian alias catatan uang kas. Baru saja Vano ingin kabur, ternyata keberadaannya sudah terlebih dahulu di ketahui oleh gadis itu.
"HEH! DEPANU! Mau kemana, lo!" Sentak gadis itu galak.
Vano menggaruk tengkuknya lalu berpura-pura melihat jadwal piket kelas, yang kebetulan hari ini bertepatan dengan jadwal piket nya.
Mampus.
Sheira––si bendahara kelas yang selalu membawa buku kematian itu mendekat kearah Vano. Gadis itu tersenyum miring. "Rajin banget liatin jadwal piket. Pasti abis ini mau piket, ya."
Dia menarik pundak pemuda itu agar menghadapnya. Setela itu, dia mengukung tubuh jangkung Vano di tembok. "Iya lah!" Vano mengalihkan tatapannya ke arah lain. Tubuh pemuda itu mematung ketika Sheira memajukan wajahnya. "Karena cuaca pagi ini lagi cerah. Dan mood gue juga lagi bagus. Mending–"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐁𝐔𝐍𝐃𝐀
Fantasy❝Apakah aku bisa menjadi ibu yang baik?❞ ❝Pukul dan maki saya sepuas kamu. Tapi saya mohon, jangan benci saya.❞ ©bininya_renmin, 2022