Lima belas

45.7K 3.7K 20
                                    

15. Trauma yang kembali

David berlari tergesa memasuki rumah. Pakaian yang biasanya rapih, kini tak terbentuk lagi. Wajahnya nampak panik, begitu sampai di depan kamar Naura, Lala menyambutnya dengan pelukan dan isak tangis. David mengelus punggung Lala sejenak sebelum melepaskan pelukannya. "Lala di sini dulu, papa mau melihat keadaan bunda," David berkata sambil menyentuh pundak Lala.

Masih dengan isak tangisnya Lala mengangguk. Dia menggigit bibir bawahnya sedikit keras karena khawatir.

David sedikit tersenyum dan mendekati pintu, dia membukanya perlahan, saat terbuka setengah, David melihat tubuh Naura yang meringkuk di sudut kamar dengan keadaan yang tak bisa disebut baik. Perlahan, David melangkah  masuk. "Naura... ini saya." David sedikit waspada, takut jika Naura kembali mengamuk dan menyakiti dirinya sendiri.

Sesuai dugaannya, Naura meraih apa saja disekitarnya dan melemparnya ke arah David, dengan lincah David merunduk, menghindari lemparan Naura. 

"Karena kamu! ini semua karena kamu!"

Pupil David melebar saat melihat cutter kecil di tangan Naura. Tubuhnya membeku. "Naura... dengarkan saya, lepaskan pisau itu!" David melangkah dengan hati hati.

Naura menatap David tajam sambil mengacungkan cutter tersebut. "Pergi!" dia berucap sedikit keras dengan suara yang serak.

Saat Naura lengah, David menampik tangan Naura hingga pisau ditangannya terjatuh, dia menendangnya menjauh agar tidak Naura tidak bisa menjangkau nya lagi.

David berjongkok di depan Naura yang meringkuk seolah melindungi diri darinya. "Saya tidak akan macam macam, kamu bisa percaya pada saya." Tangan David terulur hendak menyentuh tangan Naura sebelum menariknya kembali. "Saya berjanji! tenanglah."

Tangis Naura luruh tak terbendung. Ia mencengkram kemeja David dan memukuli dadanya. David diam tak menghindar. Hatinya tercabik melihat kondisi wanita yang dicintainya. Ia tak masalah jika Naura meluapkan seluruh emosinya padanya daripada menyakiti dirinya sendiri.

Tatapan David merunduk saat menyadari pukulan Naura semakin memelan lalu berhenti. David mengguncang Naura pelan. Tidak ada jawaban.

Dia bangkit dan memindahkan tubuh Naura yang pingsan ke kasur. David memandang luka cakar di pipi Naura yang mengeluarkan darah, jika Naura sadar, pasti akan terasa sakit. Dia melangkah mencari kotak obat. Setelah beberapa saat, David berhasil menemukan barang yang dicarinya, dia duduk di pinggir kasur dan mulai mengobati luka Naura.

Dengan hati hati David menyingkirkan anak rambut di wajah Naura dan mulai menyeka darah di pipinya menggunakan kassa yang sudah diberikan cairan infus, dia melakukan semuanya dengan sangat lembut. Terakhir, David mengoleskan salep pada luka Naura. Dia kembali merapihkan kotak obat dan menaruhnya di meja. Tak sengaja ujung matanya melihat laptop Naura yang menyala.

David merasa ada yang janggal, diraihnya laptop itu, ia menonton sebuah video yang tertera. Pada awalnya, wajahnya tidak menampilkan ekpresi apapun, namun saat pertengahan video, rahang David mengeras. Ia mencabut flashdisk yang menempel di laptop dan menaruhnya di saku celana.

David memandang Naura sejenak sebelum keluar dari kamar. Di luar, Lala berjongkok di samping pintu setia menunggu kedatangan David. Saat pintu terbuka, kepalanya mendongak menghadap David yang jauh lebih tinggi. "Papa... bunda baik baik aja, kan? Lala mau ketemu bunda."

David berjongkok di depan Lala. "Saat ini biarkan bunda istirahat dulu, nanti kalo bunda sudah tenang, Lala bisa bertemu bunda. Sekarang Lala kembali ke kamar. Lala percaya sama papa, kan?"

Kepala anak itu mengangguk. David tersenyum tipis dan mengelus rambut Lala sejenak sebelum anak itu pergi.

David menatap punggung kecil Lala yang hilang tertelan tikungan, ia bangkit. Ada hal yang harus ia selesaikan. David harus mencari tau bagaimana Naura bisa mendapatkan video ini, dan apakah ada seseorang yang sengaja mengirimkan video tersebut.

David berjalan menuju ruang tengah. sebuah kotak berwarna merah yang tergeletak di meja menarik perhatiannya. Ia mendekat untuk mencari tahu.

Dia mengeluarkan beberapa foto dari dalam kotak, wajahnya memasang raut terkejut. David mendesis sambil memperhatikan foto Naura yang sedang bercumbu dengan seorang lelaki. Ia melempar foto itu ke atas meja dan mengeluarkan ponselnya, dengan lincah tangannya mengetik sesuatu. David kemudian beranjak pergi menuju mobilnya meninggalkan rumah Naura.

*

David berjalan dengan langkah tegas memasuki gedung yang menjulang tinggi. Sorot mata nya seperti predator yang siap menerkam mangsanya.

David membuka pintu dan masuk tanpa permisi.

Wanita dengan jas putih itu melepas kacamatanya. Tatapannya mengarah pada putra semata wayangnya yang nampak tak bersemangat. "Tumben sekali orang sibuk seperti kamu menyempatkan waktu untuk mampir ke sini. Apakah dunia sebentar lagi kiamat?"

"David serius, Ma!" David berkata tegas denga nada frustasi. Dia maju dan berhenti di depan meja kerja sang ibu.

Raut wajah wanita itu berubah menjadi serius namun tatapannya menujukan acuh tak acuh. "Baiklah, ada masalah apa?"

David menarik nafas sebelum bicara, "David butuh bantuan mama sebagai dokter sekarang juga!"

Wanita itu menatap putranya curiga. "Kamu nggak membunuh orang, kan?"

David menggeleng lalu berkata, "Mama ikut David dulu, David akan ceritakan semuanya di sana." David sedikit mencondongkan tubuhnya dan menatap sang ibu dengan wajah memelas. "David mohon..." Wanita bernama Agnes itu menutup matanya dengan telapak tangannya, kepalanya menggeleng beberapa kali. "Raut muka kamu bikin mama geli, nggak cocok."

David kembali mengubah raut wajahnya menjadi datar.

Ibu dan anak itu berjalan beriringan keluar dari gedung rumah sakit menuju parkiran. Setelah membukakan pintu untuk Agnes, ia menyusul masuk ke dalam mobil. Selama perjalanan Agnes tak henti bercerita tentang temannya yang memiliki cucu perempuan. David menanggapi cerita sang ibu dengan deheman, pikirannya melayang pada Naura yang ia tinggal dalam keadaan pingsan. Ia khawatir jika Naura sadar dan kembali melukai dirinya sendiri.

"David? David Prawira! kamu dengerin cerita mama, nggak sih?!" kesal Agnes.

"David dengar ma..."

"Bagus! jadi kapan kamu mau ngasih mama cucu perempuan?"

David tersedak ludahnya, dia mengalihkan pandangan dari jalan raya ke arah Agnes. "Mama tidak perlu repot membuat acara kencan buta lagi, David tetap tidak akan datang." Dia bisa membaca dengan jelas ide yang ada di kepala cantik ibunya, jika sudah membahas tentang istri atau cucu perempuan, ia pasti berencana menjodohkannya dengan anak kenalannya.

Agnes cemberut, dengan nada kesal sekaligus gemas dia berkata, "dicariin sama orang tua nggak mau, nyari sendiri nggak nemu nemu, mau kamu itu apa?"

"Tunggu waktunya tiba, David sedang berusaha." David menghentikan mobilnya di pekarangan rumah Naura. "Nah, sekarang waktunya turun."

Agnes menatap sekeliling. "Ini rumah siapa? kamu beli rumah kok nggak ngabarin mama?! Sebenarnya kamu anggap mama apa? " Mata Agnes berkaca kaca.

David kembali menarik nafas panjang lalu membuangnya. Dia memaksakan senyum. "Tunda dulu dramanya, sekarang waktunya mama menyelamatkan seseorang."

Agnes mengedipkan matanya lalu tersenyum seakan tak terjadi apapun. Dalam hati David mengeluh betapa dramatis nya sang ibu. Heran mengapa ayahnya kuat menghadapi tingkah dan mood ibunya selama berpuluh-puluh tahun, cinta memang membutakan.

𝐁𝐔𝐍𝐃𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang