Sebelas

51.8K 4.3K 39
                                    

11. Langkah pertama

Vano berjalan menelusuri lorong sekolah. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, earphone berwarna putih setia menyumpal kedua telinganya. Malas sekali mendengar ocehan orang lain di pagi yang cerah seperti ini. Saat jarak kelas semakin dekat, tumitnya berhenti melangkah. Berjarak dua meter di depan sana terdapat Sheira dan lelaki yang dilihatnya kemarin.

Vano membenarkan ransel di pundaknya dan berjalan menuju Sheira yang berdiri di depan pintu kelas. "Jangan menghalangi jalan," sindir Vano membuat Sheira menjaga jarak dengan lelaki itu. Sheira memandang Vano yang menjulang di depannya begitu pula dengan lelaki itu yang melihat Vano dengan tatapan terganggu.

"Gue pergi dulu, belajar yang rajin." Lelaki itu tersenyum pada Sheira lalu melirik Vano yang tak beranjak dari tempatnya berdiri. "Sampai nanti," dia berbalik menjauhi lorong kelas Sheira.

Vano berdecih membuat Sheira menyikut perutnya. "Nyebelin!" Sheira membentak kemudian menghentakkan kakinya memasuki kelas.

Vano menyentuh perutnya yang terasa nyeri. Tenaga Sheira tidak bisa di remehkan. Tak urung bibirnya tersenyum gemas karena tingkah Sheira. Dia merubah mimik wajahnya menjadi datar lalu menyusul perempuan itu.

Vano menaruh ranselnya di atas meja, matanya memandangi Sheira, tanpa sadar kakinya melangkah menuju perempuan itu. Vano berdehem sambil mengetuk meja Sheira dan membuat perempuan itu mendongak menatapnya.

"Mau ngapain?" dia memutar matanya melihat seringai Vano. "Kalo gak ada hal penting, mending cepat balik ke tempat duduk lo sebelum gue seret," Sheira berkata dengan nada mengancam.

Diam diam Vano menghela nafas kecewa dengan reaksi Sheira. Sepertinya Sheira benar benar membencinya. Dia menatap tepat di bola mata gelap milik gadis itu. Hatinya sedikit ngilu saat Sheira dengan cepat mengalihkan pandangannya ke meja. Vano merogoh saku bajunya dan mengeluarkan dua lembar uang lalu menyodorkan nya ke arah Sheira. "Ini uang tunggakan gue." Vano menaruh uang itu di atas meja.

Sheira menatap Vano ragu sebelum akhirnya meraba ransel biru miliknya dan mengeluarkan sebuah buku besar yang di dalamnya berisi catatan kas kelas. "Devano Janu Prawira menunggak sebanyak 12 kali, jadi totalnya Rp 96.000" Sheira kembali mendongak setelah menyebutkan total yang harus Vano bayar.

Dia mengambil selembar uang yang di taruh oleh Vano lalu memasukan nya ke dalam dompet berisi uang kas. "Hutang lo lunas," Sheira tersenyum senang. "Ini ambil lagi." Dia mendorong selembar uang yang tersisa di atas meja.

"Ambil aja." Vano bersandar pada meja Sheira.

Senyum Sheira semakin lebar. "Tumben, kalo gini baru kerasa vibes orkay nya." Sheira terkikik sebelum melanjutkan, "kalo begitu, lo bebas dari pembayaran kas selama tiga bulan."

"Sering sering kaya gini, biar gue gak perlu mengeluarkan suara emas gue buat nagihin kalian."

Vano tertawa pelan, tubuhnya sedikit merunduk ke arah Sheira. Tangannya menyentuh ke-dua ujung meja sebagai tumpuan. "Jadi siapa cowok itu?" Vano bertanya dengan nada serius.

"Cowok?" Sheira terdiam lalu mengangguk paham. "Dia senior gue di klub melukis." Sheira menjadikan tangan kanannya untuk menumpu sisi kepalanya.

"Sejak kapan lo masuk klub melukis?"

Sheira menegakkan tubuhnya. "Baru beberapa minggu ini, memangnya kenapa?"

"Kata Agra, lo beberapa kali di antar pulang sama cowok yang tadi?"

Sheira mengangguk. "Dia nawarin tumpangan, yaudah gue nebeng. Lumayan ongkos nya bisa gue pakai buat beli seblak."

Vano mendengus lega. Berarti Sheira tidak memiliki hubungan romantis dengan lelaki itu. Dia masih memiliki peluang untuk mendekati Sheira. Mulai saat ini Vano bertekad akan membuat Sheira jatuh cinta padanya. "Mulai hari ini, lo pulang bareng gue." Vano menegakkan tubuhnya dan mundur selangkah dari meja Sheira.

Sheira berkedip polos. "Kenapa?"

Sebelum Vano menjawab, seorang guru masuk ke dalam kelas untuk memulai pelajaran. Vano segera menjauh dari meja Sheira dan kembali ke tempat duduknya dengan senyuman kecil di wajahnya.

"Langkah pertama selesai."

***

"Sial!" David menghempaskan sebuah dokumen ke atas meja. Kelopak matanya tertutup rapat saat gelombang nyeri menyerang kepalanya. Nafasnya terdengar berat. Lalu kelopak matanya kembali terbuka saat telinganya menangkap derit pintu yang terbuka.

David menatap sekilas wanita yang baru saja masuk ke ruangannya.

Wanita itu tersenyum tak bersalah. Dia melangkah masuk menuju di sofa yang berada di pojok ruangan. "Sibuk banget," ucapnya dengan sedikit cemberut. Dia menaruh tas bermerek miliknya di atas meja.

David berdehem mengiyakan. Kemudian dia kembali membuka tumpukan dokumen dan mulai membacanya, tak menghiraukan keberadaan wanita itu.

"David," dia sedikit merengek kesal karena tingkah menyebalkan David. "Kamu pasti belum sarapan, kan? Ayo kita cari makan di luar."

David tak menjawab. Tangannya menaruh dokumen yang sudah selesai dibacanya dan menggantinya dengan dokumen lain.

"Kamu gak capek apa ngambek mulu?" Kedua tangannya terlipat di depan dada. Wajah cantik nya menghadap David yang masih sibuk membaca dokumen perusahaan.

"Mau sampai kapan kamu mendiami mama seperti ini? Kamu mau mama kutuk jadi batu?"

David menghembuskan nafas lalu mendongak untuk menatap sang ibu. "Mau mama apa?" dia berkata dengan wajah tanpa ekpresi.

Wanita yang merupakan ibu dari David memasang wajah kesakitan. "Kamu tega banget. Kamu gak kasian sama mama yang harus menahan rindu karena kamu gak pulang pulang?"

David mendesah. "Ma! David sudah dewasa, David bisa mengurus kehidupan pribadi David sendiri. Mama gak perlu khawatir," terdapat rasa frustasi di dalam nada suaranya. Kemudian dia melanjutkan, "lebih baik mama pulang ke rumah, suatu hari David bakal pulang, tapi tidak untuk saat ini."

Pundak wanita itu melemas. "Tapi mama mau–" ucapannya terpotong saat pintu di ketuk. Kemudian Zayyan masuk ke dalam ruangan. "Maaf mengganggu waktu nya, nyonya." Zayyan menunduk hormat kepada ibu David kemudian bergeser menghadap bosnya. "Tuan, meeting akan segera dimulai."

David bangkit dan meraih jas biru nya yang ditaruh di bahu kursi. Dia kembali menatap sang ibu sebelum keluar dari ruangan. "Kalau mama rindu Vano, datang saja ke apartemen. Alamatnya akan David kirimkan. David pergi." Dia berjalan meninggalkan ruangannya. Zayyan sempat menundukan kepalanya pada Nyonya Prawira sebelum menyusul David.

David melangkah memasuki lift khusus petinggi perusahaan. Zayyan masih setia mengikutinya, kedua tangan lelaki itu membawa keperluan meeting seperti dokumen dan tas berisi laptop. Saat lift terbuka, keduanya keluar dan menuju ruang meeting.

Saat keduanya tiba, mereka disambut oleh para klien besar dari perusahaan lain. David duduk di kursi paling ujung. Dia jugalah yang akan memimpin meeting pagi ini.

Waktu terus berjalan, tak terasa matahari semakin meninggi. Di dekat pintu Zayyan memberi isyarat jam makan siang telah tiba. David menangkap isyarat Zayyan dan menutup meeting yang berlangsung kemudian keluar dari ruangan setelah berjabatan tangan dengan para klien yang datang.

Setelah menjauh beberapa meter dari ruangan, David dihentikan oleh seorang pria yang menjadi sekertaris salah satu kliennya.

Pria itu memberikan sebuah undangan pesta perusahaan, kemudian dia berkata bahwa tuannya akan merasa sangat tersanjung apabila David datang ke pesta yang selenggarakan. Setelah itu dia pamit dan pergi.

David menatap undangan mewah di tangannya. David terkesiap lalu meremas undangan itu dengan perasaan gundah.







***

𝐁𝐔𝐍𝐃𝐀Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang