42 ✿ Aku Kecewa, Naura

264 40 20
                                    


Gara-gara Sena berada di rumahku kemarin, aku jadi tidak bisa untuk mengerjakan tugas Sejarah yang disuruh Prita. Bagaimana aku bisa mengerjakan? Anak itu benar-benar tidak membiarkanku masuk kamar dan terus menggiringku untuk berada di ruang depan. Seolah menjadi bala bantuan, Mama juga menyuruhku untuk tidak bersemadi di dalam dan meminta kami semua untuk makan malam di meja. Papa baru pulang ke rumah pukul tujuh malam sementara Sena baru menjemput adiknya pukul sembilan. Alhasil, bukannya mengerjakan tugas, kami malah menonton film bersama. Hal itu membuatku lupa akan tugas Sejarah tadi!

Aku menghela napas dan membuka laptop, bermaksud mencari tentang peristiwa berpisahnya Negara-Negara Yugoslavia. Mataku terus tertuju pada kolom pencarian dan menulis beberapa informasi yang kuterima dari sana ke dalam Microsoft Word. Tidak terasa, sekitar dua puluh menit aku berkutat dengan laptop ini. Aku bahkan tidak sadar bahwa sedari tadi teman-teman sudah mondar-mandir memasuki area kelas dan duduk di tempatnya masing-masing. Fokusku baru terpecah tatkala Sena menurunkan kursinya dan menimbulkan suara decitan ringan.

"Tumben, Nau, pagi-pagi udah rajin," tuturnya polos. Tidak perlu kan aku menggambarkan seperti apa wajah polos Sena?

Atensiku masih setia di layar laptop. "Aku lagi ngerjain tugas Sejarah, tau."

Sena memberi respons 'hm' panjang, lantas duduk di sebelahku. "Tugas kelompok yang kemarin, ya?"

Aku mengangguk dengan sedikit menggeser bahu begitu si manis melongokkan kepalanya untuk melihat apa yang kukerjakan. "Iya. Mending kamu main-main di depan kelas aja, gih! Kamu ganggu."

"Ah, masa, sih?" Sena memanjangkan leher hingga kepalanya menutupi layar laptopku.

Kupukul saja dahinya dengan pulpen. Dia meringis untuk beberapa saat sebelum kembali tertawa dan beralih ke posisi duduk semula. "Sakit, Nau."

"Nggak denger," jawabku tak acuh, kembali menatap layar laptop.

Kutangkap suara Sena mendesis gemas. "Ya ... ya ... semangat, deh. Aku mau ke kantin dulu. Nitip, nggak?"

"Nggak."

"Oke~"

Aku baru akan mendesah lega begitu raga si manis mulai menjauh. Tapi, fokusku kembali terdistraksi tatkala Sena kembali bersuara, "Eh, Gilang. Apa kabar?"

Mataku tidak dikontrol untuk diam di tempat begitu nama berawalan G itu disebut. Sehingga yang kulakukan sekarang adalah mengikuti arah vokal Sena yang kini tengah berdiri di depan meja Prita. Gilang baru menginjakkan kakinya di ambang pintu dengan jaket hitam melekat di tubuh jangkungnya.

Jeda beberapa detik menimbang jawaban atas pertanyaan Sena barusan, pada akhirnya cowok jenius itu memberi anggukan pelan dan menanggapi, "Baik."

Dua jempol terangkat diberi sebagai bentuk reaksi dari si manis. "Bagus!" sahutnya. "Aku mau ke kantin. Mau ikut, nggak?"

Normalnya, Gilang akan mengatakan tidak atas ajakan yang diberikan Sena tadi. Tapi, entah angin apa yang menghantam Gilang pagi ini, cowok jenius tersebut malah memberi jawaban, "Boleh." Setelah mengerling ke arahku sekilas.

"...."

Tidak. Itu bukan hanya aku yang terdiam, melainkan nyaris seisi kelas!

Suasana pagi ini setelah satu kata tersebut terlontar dari bibir berisi Gilang malah membuat seolah ada efek jangkrik di kelas kami. Sena bahkan tidak percaya dengan apa yang didengarnya sebab cowok manis itu malah memasang tampang cengo di hadapan Gilang. Aku tahu sebenarnya anak itu hanya sedang basa-basi. Namun, basa-basi kali ini malah diiakan oleh si cowok jenius.

Seolah ingin menghentikan efek suara jangkrik ini, Gilang menghela napas dan menaruh tasnya di kursi yang terletak tidak jauh dari posisinya berdiri tadi. Sadar akan situasi, Sena langsung menggeleng dan mengubah air muka jadi ceria dalam satu detik. Dia bahkan melebarkan senyum begitu Gilang berbalik arah dan merangkul si cowok jenius untuk bersisian dengannya menuju kantin.

Accismus (VERSI REVISI) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang