Chapter 7

49 7 0
                                    


Di kediaman panti, Kale berdiri tegap menunggu bu Patriya membukakan pintu untuknya. Ia berdiri tidak cukup lama, sebelum akhirnya knop pintu dibuka dari dalam, lalu Kale pun dipersilahkan masuk.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Kale langsung pada topik utama kedatangannya kemari.

"Sekarang sudah lebih baik, hanya saja ia demam, dan sedang berdiam diri di kamarnya Pak." papar Bu Patriya, dapat Kale lihat dari sorot mata Patriya kalau ia sama khawatirnya dengan Aysel, sorot yang penuh keibuan itu membuat hati Kale seketika terenyuh.

"Bukan aku bermaksud lancang, tapi bolehkah aku menemuinya?" pinta Kale sopan.

Patriya nampak berpikir sejenak sebelum mengiyakan permintaan Kale.

Kale diantar oleh bu Patriya ke kamar Aysel, setelahnya wanita paruh baya itu meninggalkan Kale untuk memberi makan malam kepada anak panti asuhan tersebut.

Kale sudah mengetuk pintu kamar Aysel yang didominasi warna putih itu beberapa kali, namun tak ada respon apapun dari wanita yang kini sedang berbaring di ranjang, kepalanya pun tak menoleh sedikitpun.

"Aysel." panggil Kale, suaranya lembut persis seperti memanggil seorang anak kecil.

Aysel bergeming, Kale tak menyerah sampai situ, ia mendudukkan diri di samping ranjang dekat dengan Aysel, pria itu mulai menatap satu persatu luka yang sudah diperban oleh bu Patriya.

Dan sekali lagi Kale merasakan sakit di hatinya ketika Aysel menolehkan pandangannya, sorot yang baginya tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Antara sakit, hancur, pedih, perih menjadi satu dalam sorot mata Aysel yang sangat dalam.

Bibirnya yang semula baik-baik saja kini pun terdapat lebam dan goresan di pipi sebelah kanan.

"Ay, aku di sini." ucap Kale lirih, ia merasa terluka melihat Aysel seperti ini, tapi tak tahu juga mengapa dia bisa sampai seterluka ini, padahal Aysel adalah orang baru bagi dirinya.

Setelah tak ada respon apapun, Kale lagi-lagi terhenyak saat Aysel tiba-tiba meneteskan air mata, padahal wanita itu tadi tidak berkaca-kaca, bahkan tak ada genangan di pelupuk wanita itu.

Air mata yang sebening embun menetes begitu cepat, tanpa bicara tanpa menatap Kale, Aysel menumpahkan seluruh air matanya. Kale tampak khawatir dengan pandangan Aysel yang begitu kosong, pria itu mencoba untuk mendekat dan menepuk-nepuk punggung Aysel pelan. "Menangislah Ay, sesekali kamu harus menangis supaya lebih kuat." tutur Kale.

Aysel nampak menunjukkan pergerakan, wanita muda nan cantik itu menoleh, kemudian berhambur memeluk Kale cepat. Menumpahkan air mata dan Isak tangis di dada bidang Kale.

"Kamu itu kuat Ay, dan aku tahu itu."

Aysel memejamkan matanya rapat-rapat, mendengarkan untaian kata yang diucapkan Kale seksama. Kale melepaskan dekapan Aysel, ia menatap sendu wanita di hadapannya kini. Cepat-cepat Aysel mengusap kasar air matanya, kemudian turun dari ranjang dan duduk bersebelahan dengan Kale. "Aku hanya ingin hidup dengan tenang, jika mereka membenciku, maka biarkan. Asal tidak lagi menyakitiku. Ayah dan ibu sudah cukup memberiku luka, kenapa mereka juga memperlakukan aku seperti itu?"

Kale cukup terpana saat Aysel tidak menunjukkan gelagat aneh akan autismenya, wanita itu kini seperti wanita normal pada umumnya. "Ay, entah apa yang sudah kamu lakukan terhadapku. Tapi, aku akan berusaha untuk melindungimu." tegas Kale, mengusap surai Aysel.

"Meskipun aku tahu dunia akan menentangmu, aku akan berada di sana untuk melindungimu Ay."

"Kamu tidak harus melakukan itu Kal, Aysel tidak apa-apa. Aku sudah biasa dikasihani juga."

Losing YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang