Chapter 24

19 2 0
                                    


Begitu melihat Aysel, Mama Kale tampak meradang karena amat kesal atas kehadirannya. Ia tahu jika Aysel adalah istri sah putranya, namun sampai detik ini dan seterusnya dia tidak akan memberikan restu untuk wanita cacat sepertinya. Aysel mendapatkan tatapan aneh dari orang-orang yang baru saja ditemuinya, begitu juga tatapan jelas ketidaksukaan mertuanya sendiri. Aysel bisa memahaminya, karena ia tidak pernah diinginkan oleh siapapun di sini, kecuali lelaki yang sekarang sangat dia cintai.

"Ini istriku om, Aysel Saavitara." ujar Kale menarik pinggang Aysel agar lebih dekat dengannya.

Malik, atau Ayah dari Phavela itu tampak menatap Aysel sangat lekat, sebelum akhirnya menghela napas. "Aku sangat menghormati keputusanmu, Om hanya meminta satu hal Kale, tolong temani Phavela hingga ia membaik. Aku tahu aku adalah Ayah yang sangat buruk, dan aku ingin memperbaiki hubunganku dengan anakku, tolong bantu aku."

Melisa juga turut membujuk Kale. "Nak Aysel, Tante juga berharap kepadamu, nyawa anak kami sangat penting saat ini, aku tidak bisa membayangkan jika sesuatu yang buruk terjadi padanya. Apakah kamu tidak keberatan jika Kale terus memantau kesehatan Vela?"

"Tentu saja Tante, itu tidak masalah. Lagipula tujuan Kale di sini adalah untuk menjenguk nona Phavela, jika ia membutuhkan Kale supaya cepat sembuh maka lakukanlah." jawab Aysel cepat tanpa keraguan.

Melisa tampak senang dan bersyukur atas jawaban Aysel, meski baru pertama kali bersitatap dengan wanita ini.

Niken sudah muak dengan Aysel, ia sengaja menutupi itu dari keluarga Phavela. "Kale, sebaiknya kamu tetap di sini, aku akan mengantar istrimu ke rumah." ucapnya yang diiyakan oleh Kale.

Kale tidak mengucapkan sepatah katapun saat Ibunya membawa Aysel pergi dari rumah sakit, nanti ia akan menghubungi Aysel setelah ia sampai di rumah.

Niken melakukan mobilnya dengan kecepatan sedang, ia melirik Aysel yang duduk diam di sampingnya.

"Seharusnya kamu sadar, dari awal prioritas anakku adalah Phavela, dan kamu adalah duri diantara mereka. Aku tidak habis pikir mengapa putra kesayanganku bisa menerima dirimu yang udik seperti itu!" Cerca Niken, semakin menunjukkan ketidaksukaannya.

"Apakah kamu tidak bisa bersyukur telah kuberi tempat tinggal dahulu? Panti asuhan itu telah menyelamatkan dirimu bodoh!"

Aysel balik menatap Niken dari samping. "Mama, jika kehadiranku membuatmu kesal, tolong maafkan aku. Jika dengan menghinaku bisa membuatmu merasa lebih baik, maka lakukanlah. Tapi aku mohon, jangan melukai Bu Patriya, dan anak-anak di sana. Seumur hidup aku berhutang budi atas kebaikanmu, Mama."

"Jika kamu tahu berhutang budi, harusnya kamu menolak putraku sejak awal sialan!"

"Jika Mama tidak keberatan aku bisa membalasnya mulai sekarang, Mama bisa menyuruhku untuk apapun, tapi aku mohon dengan sangat, jangan menuntutku untuk meninggalkan Kale, karena itu tidak akan aku lakukan."

Niken tampak berpikir sejenak, lalu tersenyum miring, benar juga apa yang dikatakan Aysel, ia bisa memanfaatkan situasi ini supaya Kale dan Phavela semakin dekat dan hubungan mereka membaik.

"Bagus jika kamu sadar diri sekarang. Baiklah, mulai sekarang kamu harus balas budi atas bantuan yang telah aku berikan, dan mulai besok kamu akan melakukan pekerjaan yang aku suruh, tepatnya di rumahku."

Sesampainya di rumah megah Niken, wanita paruh baya itu lantas menyuruh Aysel untuk secepatnya mengerjakan semua pekerjaan rumah. Meskipun ia sudah memiliki asisten rumah tangga, namun ia harus memanfaatkan kesempatan ini untuk menjauhkan Aysel dari Kale.

"Jangan harap kamu bisa pulang sebelum semua selesai, mengerti?!" gertak Niken, disaksikan oleh artnya juga.

Aysel menghela napasnya, ia menggeleng lemah kepada Bibi yang diketahui bernama Asih.

"Tolong, jangan benci aku juga ya, Bi?"

Bi Asih terlihat melas melihat keadaan Aysel, sepertinya wanita itu cukup kelelahan. Bi Asih tentu sudah tahu bahwa Aysel adalah istri dari Putra majikannya, Bi Asih tidak menyangka melihatnya secara langsung seperti ini.

"Nona Aysel, jangan khawatir. Bibi pasti akan membantu sebisa bibi, nona Aysel harus sedikit lebih kuat menghadapi Ibu ya?"

Aysel tersenyum tipis, setidaknya Bi Asih masih berempati padanya. "Aku sangat berterima bi."

Bi Asih pun mulai mengajari Aysel dari mana untuk memulai, mulai dari makanan kesukaan Niken, apa yang harus dilakukan, dan pekerjaan rumah lainnya. Sungguh, Bi Asih teramat kasihan dengan Aysel, wanita cantik ini memang mempunyai kekurangan, tapi bukan berarti dia tidak punya hati.

Sementara Bi Asih mengepel lantai, Aysel turut serta membersihkan kolam renang, setelah itu ia juga memasak makan malam untuk Niken.

Di sisi lain..

Perhatian Kale masih tidak lepas dari Phavela, bahkan kantung mata pria itu tidak bisa berbohong jika ia amat kelelahan. Phavela masih belum siuman sejak ia datang, sambil terus menggenggam jemari wanita itu, Kale terus merapalkan doa berharap Phavela segera membuka matanya. Ia tidak yakin bisa menjalani hidupnya dengan tenang tanpa melihat Vela sehat dan baik-baik saja. Ia merindukan Phavela yang clingy dan selalu berceloteh ria.

Sementara itu, Malik menyuruh Kale untuk tidur karena waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Pria itu juga belum makan apapun sejak siang tadi dan hanya minum kopi. Kale menurut lalu menerima box berisi makanan dari Malik, ia meninggalkan ruangan Phavela digantikan Malik.

Dengan perasaan tak menentu, Kale melahap makanan yang sudah dingin itu, ia teringat akan semua perkataan Vela, semua hari-hari ketika bersamanya. Kale sungguh merindukan Phavela, sampai tidak terasa air matanya tumpah, hatinya sakit melihat wanita itu tertidur lelap di atas ranjang rumah sakit.

Ia pun sampai tak sadar tertidur di ruang tunggu dengan makanan yang berada di atas pangkuannya. Kale juga telah melupakan hal yang seharusnya lebih ia utamakan, seseorang yang juga membutuhkan pelukan setelah melalui hari-hari berat.

Aysel memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri, ia mengecek ponselnya, namun belum ada satupun pesan dari Kale, Aysel pun berinisiatif mengirimkan pesan untuk Kale, namun tetap tidak ada balasan. Aysel tahu pasti sekarang Kale sedang menjaga nona Phavela, ia harus mengerti, ia harus tahu kalau Nona Phavela sekarang sedang tidak baik-baik saja.

Sampai akhirnya matanya terpejam lantaran kantuk dan rasa lelah yang menjadi satu, ia memilih tidur dan menunggu hari esok. Aysel selalu diajarkan oleh Bu Patriya jika tinggal di rumah orang lain, ia harus bangun pagi dan membantu apapun yang bisa dilakukan.

Bahkan sebelum pukul lima pagi, wanita itu sudah berjibaku di dapur membersihkan piring kotor dan beberapa alat makan yang lain. Bi Asih nampaknya merasa tidak enak, namun Aysel tetap keukeh untuk membantu sebisanya, ia juga tidak segan memijat bahu bi Asih saat wanita tua renta itu mengeluh kan jika bahunya pegal sekali.

"Nona Aysel, sepertimya sudah cukup, biar sisanya bibi saja ya? nanti takutnya Nyonya liat." ucap bi asih, seraya menatap Aysel yang masih terlihat fokus kesana-kemari.

"Biarkan saja, dia memang pantas untuk itu." suara yang dikenal bi asih tiba-tiba saja berada di jangkauan pendengarannya, ia segera berbalik dan mendapati Nyonya Niken yang tengah menyedekapkan kedua tangan di dada. Aysel buru-buru menghampiri Niken dan menanyakan soal Kale.

"Ma, apa—" belum sempat ia bertanya, Niken mengangkat telapak tangannya.

"Aku tidak mau merusak pagi ini, jadi cepat kemasi barangmu. Melihatmu disini ternyata membuatku sangat muak." Niken melupakan segala rencananya untuk memisahkan Aysel dan Kale, ia punya cara lain dibandingkan harus bertemu Aysel tiap hari di rumahnya.

Aysel menurut saja, lantas langsung pergi ke kamar dan mengemasi barang-barangnya. Ia tersenyum lebar karena akan bertemu lagi dengan Kale, sebelumnya menyedihkan sekali saat tidak ada notifikasi apapun dari Kale, padahal ia melihat kali terakhir Kale aktif.












OOPSS, MAAF AKU BARU SEMPET UP LAGI HAHAHAAA

Losing YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang