Bab VII

47.4K 2.6K 10
                                    

Sepanjang kelas berlangsung Qila malas mengangkat kepalanya karena tatapan menusuk dari sekitar.

Gosip sudah menyebar keseluruh penjuru sekolah dan membuat Qila semakin terbebani. Qila mencoret coret buku tak mengindahkan guru yang tengah mengajar di depan.

Belum genap seminggu sekolah saja nasibnya sudah sangat buruk. Qila menghela napas panjang berharap beban di punggungnya ikut jatuh.

"Permisi bu." Pak Gono dengan stelan batik merah bata mengetuk pintu. "Saya izin panggil Aquila Taleetha."

Qila mengangkat kepala saat mendengar namanya disebut. Kebetulan yang sangat sial sekali hari ini adalah pelajaran Bu Pipit, guru yang sebelumnya begitu kesal pada Qila di ruang guru. Wajah guru itu terlihat senang ketika nama Qila dipanggil.

"Nah harusnya dari kemarin saja kalau mau di hukum pak," ucap Bu Pipit dengan lemah lembut. "Biar dijadikan contoh juga untuk yang lain, masa siswi nakal malah dibiarkan saja. Harus diberi efek jera supaya kejadian yang sama tidak terulang lagi."

Sekilas omongan yang Bu Pipit sampaikan terdengar baik dengan maksud tertentu. Namun tetap saja ditelinga Qila ucapan itu terdengar sangat menyakitkan.

Pak Gono tampak tak mengindahkan ucapan Bu Pipit dan menatap Qila agar mengikutinya. "Aquila ikut saya ke ruangan."

Bangku sebelah Qila kosong karena orang yang menempatinya belum datang atau mungkin tidak. Qila tidak perduli sih tapi niatnya ia ingin menitipkan tas takut kejadian kemarin terulang kembali.

"Mampus sok jagoan sih."

"Dasar psikopat."

"Pssst jangan keras-keras."

Wajah Qila mengeras mood-nya sudah hancur sejak pagi malah diperburuk oleh keadaan. Lagipula tidak ada yang bisa Qila sangkal, setiap kalimat yang ia berikan pasti hanya terdengar seperti alasan.

Qila lelah menjelaskan pada orang-orang yang keras kepala menolak kebenaran dan hanya melihat keadaan lewat satu sisi saja.

"Bapak harap kamu melakukan tindakan bijak hari ini."

"Bijak ya?" gumam Qila. "Memangnya bijak versi bapak itu seperti apa?"

Langkah Pak Gono terhenti di depan ruang kelas. "Menurutmu?"

Qila mengangkat kedua bahunya pasrah. "Saya bertanya karena tidak tahu pak."

Pak Gono tersenyum tipis lalu melanjutkan langkahnya. Sifat keras, tegas, dan pendirian kokoh yang Qila miliki mengingatkan dia pada seseorang.

Anaknya yang sudah lama meninggal.

"Tapi menurut saya kurang bijak jika bapak menyuruh saya bersikap bijak pada kesalahan yang tidak saya perbuat sendiri."

Pak Gono tersenyum simpul lalu menyampirkan tangannya kebelakang. Rasa bersalah sejujurnya datang, meskipun belum lama bertemu Qila dia sadar bahwa anak itu tidak sepenuhnya salah.

Tindakan impulsif yang dilakukannya kemarin pasti dipicu oleh sesuatu. Tetapi tak ada yang bisa menjadi saksi untuk anak muridnya ini. Rasa bersalahnya semakin bertambah saat sadar bahwa dia sendiri pun memaksa Qila untuk meminta maaf alih-alih membantunya.

"Maaf ya Bapak tidak mendengar ceritamu kemarin."

Qila terpekur mendengarnya. Kepalanya mendongak melihat sosok Pak Gono, wali kelasnya yang terus berjalan.

"Tapi Aquila, kali ini bapak tidak akan membiarkan kamu sendirian lagi." Pak Gono berbalik tersenyum hangat. "Asalkan kamu bisa ceritakan apa yang terjadi, selebihnya Bapak akan bantu cari jalan keluarnya."

Paradise (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang