Bab XV

52.2K 3.5K 33
                                    

it's always my fault, isn't it?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

it's always my fault, isn't it?

~o0o~

"Woi! Bawain nih properti ke panggung." Bagas menunjuk setumpuk dus, angkuh. Dagunya terangkat seolah bangga menyuruh Qila yang kini menatapnya tanpa suara.

Wenda tertawa bersama beberapa anak teater yang masih berada di ruangan.

"Apa lo liat-liat! Udah sana pergi, gak denger Bagas nyuruh apa?" ketus Wenda.

"Kalian bisa bawa itu sendiri kenapa harus nyuruh aku?"

Qila tidak mengharapkan ini. Dia ingin bergaul, memiliki teman, sama seperti yang lain saling bersenda gurau.

"Karena lo pantes digituin lah. Ucapan Nada kurang jelas di telinga lo?" Wenda berlipat dada. "Jangan buat gue keliatan paling jahat ya, masih untung lo diterima disini. Ekskul lain pasti langsung nendang tampang sok polos padahal isinya kriminal kaya lo!"

"Wen..." Beberapa anak menatap Wenda gamang. Kalimat yang Wenda ucapkan terdengar berlebihan.

"Kenapa?" Wenda balik menatap temannya tak suka. "Yang gue omongin emang bener kok, siapa sih di sekolah ini yang mau temenan sama dia. Lo semua gak lupa apa yang dia lakuin sama temen sekelasnya?"

Gita yang berdiri tak jauh dari Wenda berdeham. "Gue langsung ke tempat pentas deh, udah di chat Nada. Lo semua juga kalau udah kelar langsung ke sana aja."

Jangan. Jangan menangis sekarang.

Qila memohon keras pada kedua matanya untuk tidak menangis, jangan menunjukkan kelemahannya lebih dari ini atau dia akan diinjak semakin parah.

"Di mata kamu itu semua salah aku, kan? Jadi mau sejauh apapun aku bela diri aku sendiri, nyatanya aku yang bakalan tetap keliatan salah." Qila mengepalkan tangan menaham getar di tenggorokannya.

"Aku cuma mau punya teman, mau hidup biasa tapi kayaknya susah ya." Dia tertawa kecil, miris. "Kalau aja ikut ekskul bukan kegiatan yang wajib aku juga gak mau ada di tempat yang gak menginginkan aku gini."

Qila menunduk mengambil setumpuk properti di bawah kakinya. Embun sudah menumpuk di pelupuk matanya.

"Jadi tolong, kalau kalian gak suka sama aku, tolong pendam dulu atau setidaknya jangan sampai aku denger kalimat kaya gitu."

Wenda tertegun. Bohong jika hatinya tidak terusik melihat wajah Qila yang memohon seperti itu.

Tapi rasa gengsi terlalu mendominasi. "Dasar drama! Lo kira bakalan dikasihani masang tampang kaya gitu cih! Minggir lo!?" Wenda mendorong tubuh Qila hingga siku tangannya terbentur dengan kenop pintu.

Qila menarik nafas, mengelus siku tangannya yang sakit. "Sabar Qila, kamu bisa bertahan, tolong bertahan ya, kita kuat."

***

Paradise (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang