Hari sudah semakin sore akan tetapi Qila malas pulang ke rumah. Baru kali ini ia tak punya semangat untuk bertemu siapapun. Hari ini ia sengaja tak membawa sepeda karena terlalu malas.
Qila selalu optimis dengan segala hal. Ia yakin suatu saat suasana rumah akan membaik seperti dulu, seperti saat bunda masih ada. Qila berusaha menghidupkan suasana dengan tingkah konyol, namun tak berbuah hasil.
Jangankan merubah suasana rumah, situasi sekolah yang ia kira akan menyenangkan saja terlihat mengecewakan.
Kenapa hidupnya seperti selalu gagal dalam setiap hal?
Qila mengambil nafas dalam. "Arghhhhh." Dia mengacak-acak rambutnya kesal.
Tanpa sadar langkah kaki membawa Qila pada pemakaman umum. Tempat yang sudah lama tak Qila kunjungi.
Mata Qila mengerjap beberapa kali, mengucek mata, memastikan bahwa tempatnya saat ini adalah peristirahatan terakhir bunda.
"Eh."
"Saka?" kaget Qila melihat postur kembarannya yang berjalan menuju sebuah makam.
Qila bergegas menyusul adik kembarnya itu dengan langkah lebar-lebar. Sampai di sebuah pohon rindang yang tak jauh, Qila tertegun menyaksikan Saka menatap makam bunda dengan penuh kerinduan.
Saka jarang sekali menunjukkan perasaannya. Dia terbiasa sembunyi dibalik wajah cuek dan datar untuk menutupi perasaannya sendiri.
Bahkan Qila yang notabene adalah kembarannya saja tidak bisa menebak isi hati Saka. Apakah dia sedih, senang, atau marah.
"Saka sehat, semuanya sehat. Bunda disana gimana kabarnya?"
"Hari ini Saka bawa Lily putih kesukaan bunda. Saka gak bisa lama-lama disini, udah sore dan mau ujan."
Qila menyaksikan semuanya. Bagaimana suara Saka yang melembut, tatapan matanya yang tenang, dan salam perpisahan untuk bunda dengan mencium nisan.
Sungguh bukan seperti Saka yang terkenal dingin dan acuh.
"Dari kapan lo disana?" Suara dingin Saka merembes masuk mengejutkan Qila.
"T-tadi."
"Ck." Saka membenarkan tas di pundaknya, menatap Qila kesal.
"Kamu... mau langsung pulang?" tanya Qila.
"Ya."
"Ohh ya udah, sana pulang." Qila tak bermaksud mengusir, tapi ia sadar diri duluan karena Saka pasti tak akan suka jika ia minta untuk pulang bersama.
"Udah mau ujan, buruan."
"Hah?" ulang Qila yang tak paham maksud 'buruan' yang Saka ucapkan. "Kamu mau nungguin aku?"
"Saka?"
"Iya! Gak usah lama-lama ngobrol sama bunda. Gue tunggu di motor," ketus Saka yang langsung berbalik menuju motornya.
Tak membuang kesempatan, Qila bergegas jongkok depan makam bunda. Tangannya mengelus gundukan tanah yang dipenuhi bunga segar. Qila memejam membayangkan wajah bunda sebelum akhirnya mengajak angin bicara.
"Aman bun, kemarin sempet ada masalah sedikit tapi Qila kan anak bunda yang paling kuat jadi segitu mah biasa."
Qila mengeluarkan sisa air minum yang tinggal setengah, menyiramkan air itu ke atas makam bunda, lalu tangannya menengadah memanjatkan doa.
Sebuah Al-fatihah ia panjatkan dengan penuh ketulusan, disertai doa lain berharap doa yang ia panjatkan bisa membantu bunda.
"Aku gak bisa lebih lama nih bunda, bisa-bisa Saka ngamuk hehe. Besok aku kesini lagi, yaa. I love you bundaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradise (Terbit)
Teen FictionTerbit. Pesan di shopee lovely media. "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan dengan saudara sendiri, mendengar perkataan itu tak lagi menimbulkan sakit meski sesek...