•••
Jika aku mati apakah ada yang akan menangis untukku?
***
Bahagia itu tidak ada.
Setidaknya itu yang seorang Arshaka percayai sampai saat ini. Dia tidak pernah menggantungkan kepercayaan pada siapapun. Karena lebih sedikit percaya pada seseorang maka lebih sedikit juga untuk merasa dikecewakan.
"Lah Qila mana?" Dion menghampiri Saka yang baru kembali lagi ke lapangan.
"Balik."
"Sendiri?" tanya Dion kaget. "Gak lo anterin? Dia abis nangis, Ka. Pas ketemu gue di depan aja matanya udah sembab gitu."
Saka hanya mengendikan bahu lalu kembali ke tengah lapangan untuk bergabung dengan yang lain. Dion melongo tak habis pikir.
"Lo tau, Ka? Gue yang bukan siapa-siapanya dia aja ngerasa seneng banget waktu dimintain tolong, padahal cuma nunjukin arah doang. Itu pun dia mau ketemu lo," ujar Dion dari pinggir lapangan, tak memedulikan bahwa yang akan mendengar bukan hanya Saka seorang.
"Dia nyamperin lo kesini jauh-jauh, tandanya dia ngandelin lo, tolol."
Dion melipat kedua tangan di depan dada, menguji sejauh mana seorang Saka dapat tahan dengan setiap kalimat yang ia lontarkan.
"Terus sekarang dia lo tinggal pake alasan basket? Emang basket lebih penting daripada kembaran lo?"
dug.
Saka melempar bola basket asal hingga ke luar lapangan, menyebabkan beberapa anak melirik dengan pandangan penasaran.
"Gak usah ikut campur," desis Saka berjalan mendekati Dion dengan pandangan kesal. "Dia udah gede. Bisa urus urusannya sendiri."
"Terus?" Alis Dion naik sambil tersenyum sinis. "Cuma karena udah gede berarti lo bukan saudaranya lagi?"
Dion tahu Saka hanya tengah mencari pembelaan atas rasa bersalah karena meninggalkan kembarannya seperti tadi. Namun, Dion rasa ia harus turun tangan kali ini. Harus ada yang bisa menyadarkan seberapa pengecut seorang Saka.
"Jangan nyesel kalau dia pergi dari hidup lo, Ka." Dion membalikan badan, menuju tas dan memasukkan semua barangnya, bersiap pulang. "Atau lo emang berharap gitu? Gak akan ketemu kembaran lo lagi."
"Ngomong apa lo anjing?!" Saka menarik jersey Dion kasar.
"Santai." Dion terkekeh sambil melepaskan tarikan Saka, bukan karena merasa lucu tapi miris. "Gue cuma nanya, gak usah pake emosi."
"Lucu lo, kenapa baru marah sekarang cuma karena omongan gue. Lo pikir mana yang lebih sakit? Omongan gue atau tingkah lo barusan." Ucapan Dion mampu membuat Saka diam tak berkutik. "Disaat semua orang gak peduli sama Qila, bisa-bisanya lo yang pernah hidup satu rahim barengan lebih goblok dari siapapun sampe pengen gue tonjok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Paradise (Terbit)
Teen FictionTerbit. Pesan di shopee lovely media. "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan dengan saudara sendiri, mendengar perkataan itu tak lagi menimbulkan sakit meski sesek...