Bab XVIII

48.6K 2.8K 49
                                    

Suhu tubuh Qila naik, bibirnya bergetar menahan dingin yang menyeruak masuk menembus tulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suhu tubuh Qila naik, bibirnya bergetar menahan dingin yang menyeruak masuk menembus tulang.

Beberapa kali erangan kecil lolos disertai buliran keringat dingin yang mulai membasahi bantal. Qila mengerjap pelan, kepalanya pening bukan main.

Ia melirik jam di atas nakas yang menunjukkan pukul 04.00 WIB.

"Shhh."

Tidak tahan dengan rasa sakit yang sangat menyiksa. Qila bangkit dengan susah payah sambil memegangi pinggiran kasur. Sekelilingnya terasa berputar seperti sedang bermain di wahana ekstrim.

Beberapa kali tangannya kehilangan tenaga, Qila merasa seakan lumpuh. Dia berjalan dengan pincang menuruni tangga. Berharap bahwa keberuntungan masih ada di pihaknya sehingga tak jatuh dari lantai dua.

"Bi... bibi," panggil Qila mengetuk pintu kamar Bi Iyem tanpa tenaga. "Bi..." suaranya sudah mulai hilang, kesadarannya berada di ambang batas.

Ia jatuh, kepalanya bersandar pada pintu kamar Bi Iyem sebab tak mampu lagi menopang bobot tubuhnya.

"Bi." Qila mulai menangis. Bahkan air matanya pun terasa panas menyentuh pipi. "Sakit bi."

"Astaghfirullah," Bi Iyem terkejut bukan main mendapati Qila yang sudah lemas di depan kamarnya. "Neng Qila!"

Bi Iyem lari tergesa menghampiri Qila dari arah dapur. Ia kembali dibuat terkejut karena suhu tubuh gadis itu sangat panas seperti terbakar.

"Neng, Ya Allah."

"Bisa denger suara bibi?" Bi Iyem berkaca-kaca suaranya bergetar. Pasalnya wajah Qila sudah terlalu pucat. "Gusti... Neng Qila, neng."

"Bi?" ucap Qila lemah, suaranya parau. "Sakit."

"Ayo sama bibi dipapah masuk ke kamar bibi dulu, biar bisa bibi kompres."

Bi Iyem mengalungkan tangan Qila ke pundaknya. Namun sia-sia, tenaganya yang sudah lemah tak mampu mengangkat Qila.

Bi Iyem menangis, bingung harus bagaimana. "Neng... tunggu disini sebentar ya, bibi ke atas dulu bangunin yang lain."

Meski tak tega akhirnya Bi Iyem meninggalkan Qila di lantai dingin. Kedua tangannya saling bertaut gemetar.

"Den, den bangun den." Bi Iyem mengetuk salah satu pintu kamar saudara Qila."Den punten bangun den."

Butuh waktu beberapa lama hingga sang pemilik kamar menampakkan diri. Wajah bantalnya menunjukkan ekspresi terganggu.

Bi Iyem menelan ludah sebelum akhirnya bersuara. "Neng Qila dibawah den, anu..."

"Kenapa?" tanyanya serak. "Masih jam 4 bi, dia gak bisa sehari gak bikin masalah?"

"Neng Qila di bawah udah lemes den, pucet, tolong den," ujar Bi Iyem tak jelas, raut khawatir terpampang jelas di wajahnya.

Paradise (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang