Bab IX

50.2K 2.6K 24
                                    

Butuh waktu dua minggu lebih untuk orang-orang berhenti menatap Qila dengan tatapan menghakimi. Selama waktu itu Qila selalu takut pergi keluar kelas. Dia menghabiskan waktunya menyendiri menjauhi kerumunan.

Situasi rumah tidak ada bedanya. Sikap ayah menjadi semakin dingin, dan Dirga kembali sibuk dengan urusan kampus, Daniel tetap menyebalkan, dan Saka yang selalu cuek.

Qila menghabiskan tiga hari tidur di loteng dan terpaksa absen sekolah. Ayah tidak pernah main-main dengan perkataannya. Ia benar-benar kecewa dengan tindakan Qila.

Tapi Qila tidak menyesal sama sekali karena membuat wajah Inez terluka. Anggap saja dia gila, tapi baginya itu adalah harga yang setimpal.

"Bapak ingatkan bagi kalian yang belum memilih kegiatan tambahan untuk segera mendaftarkan diri. Salah satu kriteria penilaian raport adalah keaktifan di organisasi, ekstrakurikuler, tim, atau club. Kalian wajib memilih salah satu."

Agni, cewek terjutek di kelas mengangkat tangannya. "Kalau gak ada yang bikin saya tertarik pak?"

"Minta tarik saja ke temanmu." Pak Gono menjawab asal. "Pokoknya ini sudah jadi ketentuan sekolah, kalau tidak mau mematuhinya silahkan cari sekolah baru."

Pak Gono menutup pelajaran kelas yang disambut helaan napas anak-anak. Sistem yang sengaja dibuat agar siswa aktif dari sekedar kegiatan belajar di kelas saja.

***

Mata Qila meredup tatkala memandangi ruangan teater yang dipenuhi orang. Qila meremas formulir pendaftarannya. Mereka bercengkrama dengan hangat saling bersenda gurau.

"Lo Qila yang digosipin satu sekolah kan?"

Qila mundur terkejut akan kedatangan seorang gadis mungil yang menunjuk wajahnya. "Iya beneran Qila yang itu!?"

"Ngapain lo disini? Jangan bilang...." Cewek itu menutup mulutnya seakan tak percaya dengan pikirannya sendiri. "Wow sini ikut gue."

Tangan Qila pasrah diseret begitu saja oleh cewek asing itu. Ruangan yang tadinya bising mendadak senyap begitu Qila masuk. Pandangan orang mengarah seakan mencoba menguliti tubuh Qila.

Ditatap seperti itu oleh banyak orang membuat Qila takut.

"Gais lo semua harus denger kalau anak ini bakalan gabung ke ekskul kita." Cewek mungil itu menunjuk wajah Qila sambil tertawa. "Gimana gimana?"

Seorang cowok berkacamata tampak meremehkan. "Gue pribadi gak setuju, masa ekskul kita mau terima anak bermasalah kaya dia?"

"Setuju sih."

"Iya kayak gak ada orang lain yang daftar aja."

"Gue ngeri ah, kalau dia nusuk muka gue juga gimana?"

Orang orang ramai berkomentar tanpa memikirkan perasaan Qila. Mereka dengan sengaja mengucapkan kalimat yang membuat Qila tersudutkan.

Qila meremas sisi roknya dan menunduk, seharusnya dia tidak datang. Padahal Qila berharap dia akan diterima disini dengan sambutan hangat.

"Kalau lo gimana Ga?"

Orang yang dipanggil 'Ga' itu tak bereaksi lebih. Seorang cewek tomboi dengan seragam putih yang dikeluarkan hanya menatap Qila tanpa minat.

Sepertinya dia adalah ketua teater yang banyak dibicarakan itu. Dilihat dari segi manapun aura gadis itu sangat mendominasi.

"Gak masalah," celetuknya yang mendapat respon kontra.

Bagas si laki-laki berkacamata protes tidak setuju. "Yang bener aja Ga lo mau terima dia."

"Masalahnya dimana?"

Paradise (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang