"Lantas aku harus apa? Bertanya tentang arah jalan disahara, adalah hal sia-sia."
-Bima
---○●○---
Bugh*
Pipinya terasa panas begitu satu tamparan keras melayang diwajah sebelah kanannya, ia menatap sendu beberapa barang dilantai akibat kemarahan orang yang tengah berjalan mondar-mandir karena emosi.
Kalau saja ia punya keberanian untuk mengatakan apa yang ingin ia katakan selama ini, andai saja ia berani, andai ia bisa, andai ia mampu, dan andai-- andai dan selalu ada pengandaian untuk pengecualian perasaannya dari apa yang tidak bisa ia lakukan.
Saja hening, setelah semuanya ikut berantakan. Uang yang baru saja ia dapatkan dari hasil kerja kerasnya malam ini berserakan dilantai, harga dari hasil kerja keras dan keringatnya seakan sia-sia, mata nanar itu juga terus menatap kebawah, menahan ungkapan marah dalam dirinya.
"BAPAK SERING BILANG SAMA KAMU, BAPAK GAK SUKA KAMU MAIN-MAIN GAK JELAS! SANA-SINI CUMA BUAT KHAWATIR ORANG TUA!! KAMU GAK MIKIR APA?! KALAU BAPAK DIRUMAH NUNGGUIN KAMU CUMA MAU KAMU PULANG DENGAN SELAMAT, BAIK-BAIK AJA!"
"Bima gak minum Pak.."
Bugh*
Lagi, kali ini semua sisi kanan dan kiri wajahnya mendapat bagian.
Bima mengepalkan tangannya saat Bapak menyikat gusar rambut kepala yang hampir setengah hilang kebelakang dengan kesal. Merasakan tangan yang panas setelah memukul sang anak.
"GAK MINUM, GAK MAIN, GAK INI, GAK ITU! SADAAR!! KAMU ITU CUMAN PUNYA BAPAK, BAPAK MAU KAMU JADI ORANG GEDE, JADI LAKI-LAKI SUKSES YANG BISA DIBANGGAKAN. BUKAN JADI PEMBAWA ACARA-ACARA GAK JELAS YANG ISINYA PEMABUK!!"
"Kamu pikir gampang apa buat jadi orang tua?" Bapak mulai menurunkan nada bicaranya pada Bima meski tak mudah menghilangkan sesak juga marahnya pada Bima yang terus menerus menundukkan kepala setiap kali dihadiahi nasihat. "Kamu pikir gampang gedein kamu sendirian? Malu, kalau Bapak tahu kamu jadi berandalan kayak gini! Bapak malu sama orang-orang karena gagal didik kamu."
Begitu menyakitkan saat Bapak merasa telah gagal membesarkan anak laki-lakinya, ada perasaan tak biasa yang mengganjal begitu mendengarnya. Bima pun tak mau menjadi produk gagal itu, tapi... tapi apa harus seperti ini?
Anak-anak lain bisa menjadi apa yang mereka mau. Lalu kenapa hanya dia?
"Suatu saat.. kamu bakal ngerti, kamu bakal tahu rasa menjadi seorang Bapak. Kalau anak laki-laki kamu rusak atau anak perempuan kamu dirusak, dan kamu gak punya pilihan buat memilih pilihan yang sulit."
"Harusnya Bapak malu sama diri Bapak sendiri!" Laki-laki itu mencoba mempertahankan suara yang jarang ia keluarkan untuk menyampaikan aspirasinya. "Bapak gak pernah mau nanya dan tahu apa yang Bima butuhin, karena Bapak selalu bilang kalau Bapak tahu apa yang terbaik buat Bima. Bapak pikir Bima gak malu punya orang tua kayak Bapak?"
Bapak menyipitkan mata saat Bima mengangkat kepalanya, menatap Bapak dengan mata merah dan berair. "Kalau aja Ibu masih ada.."
"Bima!"
"Bima mau ikut Ibu aja, Pak." Ucapnya dengan suara bergetar.
Bapak berjalan dengan amarah, siap melayangkan pukulannya, lagi.
"PUKUL AJA PAK, PUKUL!! SINI!!" Sambil menawarkan wajah merah yang sempat di pukul sebelumnya. Bapak menghentikan gerakannya, niatnya ia urungkan meski terus di elu-elu oleh Bima untuk menampar dirinya. "AYO!! PUKUL, PAK!!! MUDAH, NIH! KAYAK GINI, PUKUL AJA PAK. KENAPA?! BAPAK RAGU? IYA?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] BabeLova - Jaemin, Haechan, Mark
Fiksi Remaja[BabeLova] -Cakra yang tinggal di gudang masjid, karena orang tuanya meninggal saat ia masih kecil. "Aku? Sendiri? Aku, kan punya Kakak sama Adek! Siapa? Jelas Kak Bima dan Adek Gaga! Siapa lagi? Aku.. aku cuman punya kalian. Iya, kan? Kakak Bimaa...