1. Genangan Darah

491 30 7
                                    

Suasana tampak sunyi senyap di daerah Distrik 10, tepatnya pada pukul tiga sore. Sebut saja Ahmad sedang menuju Sekretariat Fosmagati seorang diri. Namun baru saja ia menaiki anak tangga paling bawah, ada seorang polisi berseragam lengkap memanggilnya dari dalam mobil. Tanpa ada rasa curiga, Ahmad menyerahkan paspornya ketika sang polisi memintanya.

Kemudian dengan gaya meyakinkan, si polisi pun serius meneliti isi paspor dan visa. Setelah itu ia mulai menggeledah isi tas milik Ahmad yang diberikan secara sukarela. Semua barang dikembalikan, kecuali handphone yang masih di dalam genggaman polisi tersebut.

Ahmad mulai memaksa sang polisi untuk mengembalikannya, tetapi polisi dengan cekatan masuk ke dalam mobil dan menutup pintunya. Ahmad yang masih memegang pintu mobil, terseret akibat sang polisi melajukan mobil tanpa aba-aba. Kemudian Ahmad berteriak, "haramiy! haramiy!"[1]

"Woy! Serius amat! Lagi nulis apaan?"

Ah, sumpah! Aku baru saja terhanyut dengan berita yang sedang kubaca. Tiba-tiba wajah jail Ghibran terpampang di balik laptop seraya meneriakiku.

"Lagi ngedit rubrik Laporan Khusus," sahutku.

"Oh, tentang kasus polisi gadungan?"

"Yup. Habis dari masjid, bapak-bapak editor pada ke mana?"

"Si Awan sama Dedet ke kantin wisma mesen makanan untuk makan siang. Ini pesenan konsumsinya ya, Bu Bendahara." Lalu Ghibran melemparkan sebuah minuman yoghurt kesukaanku.

"Syibsi-nya enggak ada yang rasa cuka, kan? Kata Siera, itu rasa ketek Mesir," ujarku sebelum aku memeriksa isi plastik yang dibawa oleh Ghibran.

Ghibran menyemburkan tawanya. "Apa-apaan sih dia? Waktu makan tom yum di restauran Thailand, dia bilang daun ketumbar itu daun rasa kepinding."

"Ya, begitulah ibu Pemimpin Umum kita. Nama boleh mirip bule, tapi lidahnya selera rakyat," sahutku datar sembari menghapus dan memperbaiki berita yang sedang kubaca.

Sebenarnya untuk pembelian konsumsi saat rapat redaksi itu tugasku. Bukan Pemimpin Redaksi seperti Ghibran. Hanya saja dia menawariku. Katanya sekalian ke masjid untuk salat Jumat. Meski disambut siulan dari Awan dan Dedet.

Aku kembali berkutat dengan berita yang tadi sempat terpotong.

"Gimana tulisannya kru?" tanya Ghibran.

"Ya, lumayan sih. Ini berita feature-nya enggak sekaku kayak sebelumnya," komentarku.

Aku akui kalau sempat terhanyut oleh penuturan si penulis. Dia berhasil membuatku merasakan suasana di tempat kejadian. Meskipun masih ada beberapa narasi yang terlalu bertele-tele sehingga aku harus menggantinya dengan kalimat efektif.

"Maklumlah. Kita kan enggak dapat pendidikan jurnalistik. Paling-paling dapat seminar yang diadain KBRI. Itu pun cuma setahun sekali." Ghibran menenggak minuman sodanya sembari meluruskan kedua kakinya di atas karpet.

Aku merasa beruntung, karena kantor Majalah Akhbaruna terhalang oleh kantor PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia). Kami bisa mengerjakan laporan sambil duduk santai di atas karpet. Apalagi kebanyakan kru Akhbaruna sering tertawa lebar dan suaranya menggetarkan gedung Wisma Nusantara.

Suara gemeratak terdengar saat aku mencoba meluruskan punggung. Tidak lupa aku menggerakkan jari-jariku dan menarik kepalaku ke arah kanan dan kiri. Walhasil suara gemeratak memancing perhatian Ghibran. Dia melemparkan bantal berwarna putih kelabu—bukan warna aslinya—tepat mengenai wajahku. Dia tertawa terbahak-bahak saat melihat wajahku yang merengut.

Setelah itu kami kembali berkutat dengan laptop masing-masing sembari menenggak minuman supaya tetap berenergi. Merevisi tulisan para kru sangat menguras otakku, terlebih kali ini hampir semuanya bertema kriminal. Aku tidak bisa memungkiri ketika aku membaca berita kriminal, aku terus merapalkan kalimat istigfar. Tentu saja aku berdoa supaya aku tidak melihat kejadian kriminal di depan mataku.

Apartemen Sebelas (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang