19. Baku Hantam

52 17 2
                                    

Kedua telapak tanganku sudah mulai memproduksi titik-titik keringat ketika aku melihat darah yang keluar dari pelipis Zain yang sepertinya robek. Ditambah ujung bibir Bron yang sepertinya juga terkoyak, turut mengeluarkan cairan berwarna merah.

Aku meneguk ludah dan tubuhku kembali menegang saat Bron melempar batu sebesar kepalan tangan orang Mesir. Batu itu melayang tepat melewati samping kepalaku. Batu itu sepertinya ditujukan untuk Zain, tetapi kebetulan aku berdiri di belakangnya, aku turut menjadi target salah sasarannya.

Tadinya aku berniat akan berlari dengan kekuatan tinggi melewati mereka berdua. Namun baru saja aku melewati tangga paling atas lantai tiga, bahaya telah menyapaku.

Mungkin aku masih beruntung, kepalaku masih utuh. Tidak ada yang robek. Dan aku malah mematung dan tidak melanjutkan untuk melangkah menuju pintu apartemenku.

"Cepat masuk apartemenmu!" Suara Zain yang menggelegar segera mengembalikan kerja otakku yang sempat lumpuh.

Di saat aku berhasil mencapai pintu apartemen, aku melihat Zain berlari ke bawah dan Bron mengejarnya. Aku mengurungkan niat untuk masuk ke dalam, dan berlari menuju ujung koridor gedung yang terbuka.

Ah, tidak terlihat. Kalau mereka melanjutkan pertengkaran, pastinya dilakukan tepat di depan gedung. Mana bisa aku nelihatnya dari samping? Aku tidak punya nyali besar untuk berlari ke lantai satu dan melihat baku hantam itu. Kalau aku mempunyai kekuatan superhero, aku akan melerai mereka. Haha, pergi ke rumah sakit jiwa sana kamu, Jihan.

Bertepatan ketika aku masuk ke dalam apartemen, ada sebuah pesan masuk. Namun aku tidak jadi mengambil ponselku, karena tepat di belakang pintu berdiri Lia dan Nena sedang menyengir lebar.

"Kita lagi nonton tetangga depan berantem," aku Nena.

"Iya, Kak. Enggak terlalu jelas sih lewat lubang pintu. Tapi penasaran dan suara mereka maki-maki, kedengeran banget. Awalnya kita denger suara bak-buk bak-buk dari depan pintu," terang Lia.

"Tapi Kakak enggak kenapa-napa, kan?" tanya Nena.

"Tadi aku hampir kena pas Bron ngelempar batu ke arah Zain. Aku pas di belakangnya Zain lagi. Lagian kok bisa ada batu sih?" sungutku.

"Itu mungkin batu punya tetangga depan, Kak. Mereka suka ngeganjel pintu pake itu. Aku pernah lihat. Enggak tahu kenapa." Lia mengedikkan bahunya.

"Oh ya udah, aku kunci pintunya ya. Mereka masih berantem dan turun ke bawah. Awas, jangan penasaran." Aku menarik slot kunci besar pada pintu.

"Yah, coba aja apartemen kita menghadap ke jalan. Pasti kelihatan lewat balkon," ucap Nena lesu dan disambut anggukan oleh Lia.

Aku hanya terkekeh saja. Setelah mengganti baju dan salat isya, aku pergi ke dapur untuk membuat susu hangat. Mudah-mudahan aku bisa tidur nyenyak setelah meminumnya.

Akibat cuaca yang dingin, lidahku tidak terasa terbakar saat menyeruput susu yang baru saja kubuat. Bahkan tanganku terkena cipratan minyak atau tetesan air panas, tidak terlalu berdampak.

Sembari menyeruput susu hangat, aku memeriksa pesan yang masuk tadi. Ternyata dari Ghibran.

Ghibran: Han, jangan keluar apartemen ya. Ada orang berantem di depan gedung kamu. Kejar-kejaran sambil bawa botol beling. Aku tadinya mau nyamperin kamu, karena kamu kayaknya marah. Eh, enggak jadi gara-gara ada orang berantem. Kalau ada apa-apa, kabari aku ya.

Aduh, apa Ghibran baik-baik saja? Dengan impulsif, aku menekan tombol panggilan kepada Ghibran. Astaghfirullah! Ini sudah jam sembilan malam. Perempuan macam apa menelepon laki-laki di malam hari?

Nasi telah menjadi bubur. Aku terlanjur memanggilnya dan Ghibran mengangkatnya.

"Em ... as—assalamualaikum, Bran."

Apartemen Sebelas (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang