29. Luka yang Menganga

53 15 3
                                    

Ghibran berjalan dengan perlahan menuju pintu. Dia sedikit berjingkat untuk bisa melihat ke lubang pintu. Namun ternyata Ghibran menghela napas lega. "Orang-orang PPMI sama DKKM."

Sebelum Ghibran meraih gagang pintu, aku sontak berdiri. "Bran, ja—jangan dibuka."

Ghibran mengerutkan keningnya.

"Aku—gimana kalau—em mereka ngebeberin kejadian ini ke seluruh masisir? Lalu beritanya diangkat ke publik. Aku—aku enggak mau." Aku menggigit kukuku.

"Enggak mungkin, Han. Mereka bisa dipercaya." Ghibran menatapku serius.

Namun aku segera berlari menuju kamar dan menutup pintunya. Dadaku terasa sesak. Aku membenamkan wajahku ke atas kasur. Tiba-tiba wajah Ningsih berkelabatan di pikiranku. Aku mengerti kenapa Ningsih enggan melaporkannya. Orang-orang akan melihat kami dengan berbeda.

Saat kakiku membentur ujung ranjang, rasa nyeri menjalar sampai pinggangku. Aku menarik celana piyama yang kukenakan. Terdapat warna kebiruan di sekitar atas pergelangan kaki.

Aku benar-benar tidak percaya. Padahal Baba Sheriff selama ini selalu baik kepada kami. Bahkan dengan naifnya aku memercayai Balsam. Sekarang aku menjadi takut untuk percaya kepada orang.

Apa orang-orang PPMI dan DKKM tidak akan memublikasikan kasus ini ke khalayak umum? Walaupun namaku disamarkan untuk kepentingan berita sebagai imbauan kepada masisir lainnya, aku tidak yakin bahwa mereka tidak akan berusaha menebak.

Perutku terasa disayat-sayat. Aku melupakan bahwa diriku yang belum seratus persen pulih dari sakit. Kepalaku rasanya seperti dihantam oleh beban berton-ton. Dadaku semakin sesak. Air mata terus mengalir. Berkali-kali aku merapalkan kalimat istigfar dalam hati. Ya Allah, kenapa semua ini harus terjadi? Apakah aku akan mati, karena sakit yang mulai menjalar ke seluruh tubuhku?

Kedua mataku seolah tidak sanggup untuk membuatku tetap terjaga. Apakah aku akan pingsan dan semua orang meninggalkanku? Lagi-lagi aku ditinggal sendirian.

Aku akan pingsan sementara Ghibran dan orang yang datang akan pergi karena mengiraku tertidur. Lia dan Nena yang mengetahui kejadian ini ketakutan setengah mati. Mereka mengepak baju-baju, dan pergi begitu saja. Aku hanya sendirian. Pingsan dan tidak ada yang peduli. Sementara luka yang ada di dalam tubuhku terus menganga.

Namun sebelum sepenuhnya mataku terpejam, aku bisa merasakan seseorang merengkuhku. Siapa dia? Apakah malaikat yang akan menjemputku?

***

Apakah ini mimpi? Aku melihat Ayah dan Ibu sedang makan di hadapanku. Lalu di sampingku ada Kiki yang memainkan ponsel dan tidak kunjung melahap santapannya. Ibu berkali-kali menegurnya. Namun Kiki tetaplah Kiki. Dia selalu sebal dengan Ayah dan Ibu yang selalu menyuruhnya untuk mencontohku. Maka tak heran jika dia membenciku.

Namun jika ini kenyataan, mungkin ini lebih baik. Aku kembali bersama keluargaku. Apa aku berkuliah di Indonesia saja? Rasanya aku tidak sanggup untuk kembali ke Kairo. Ah, jangan sampai Ayah dan Ibu mengetahui kejadian mengerikan itu. Ibu bisa memburuk kesehatannya dan masuk rumah sakit lagi. Aku menggelengkan kepala kuat-kuat.

"Kenapa, Han?" tanya Ibu.

Kenapa suara Ibu terdengar seperti suara merdu gemericik air? Bukan suara Ibu yang terkadang terselip nada tegas kepada anaknya. Lalu sejak kapan Ibu menyapaku dengan nama? Ibu selalu memanggilku Kakak.

Perlahan aku membuka kelopak mataku. Samar-samar aku melihat Siera menatapku dengan khawatir.

"Han, Han," panggilnya.

"Iya, Ra," jawabku. Aku mengerutkan kening. Ini di mana? Aku berada di atas kasur lipat, bukan ranjang. Warna karpetnya biru, bukan cokelat seperti apartemenku.

Apartemen Sebelas (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang