16. Wajah Si Pengintai

52 16 6
                                    

Ghibran: Han, nanti habis zuhur ada kumpul bersama Ikatan Jurnalis Masisir di Musalas. Setiap majalah diminta datang perwakilannya. Siera ada acara PPMI di Wisma. Aku bisa datang, tapi telat. Kamu bisa enggak, datang duluan? Nanti aku nyusul.

Padahal di hari libur seperti ini aku ingin bersantai di apartemen. Semenjak bergabung dengan Akhbaruna, aku harus mengorbankan waktu luangku untuk semua kegiatan yanv menyangkut majalah.

Ditambah saat jam sepuluh pagi, Baba Sheriff datang bersama seorang pria yang akan memperbaiki kamar mandi. Aku bergegas memakai jilbab ketika bel berbunyi.

"Maaf, Jihan, saya mengganggu kalian di hari libur," ujarnya.

Ya, mengganggu sih, tapi ..., "tidak apa-apa, Baba. Silakan." Wajahku memasang senyuman palsu.

Baba Sheriff mengarahkan pria tersebut ke arah kamar mandi. Lalu dia menunjuk dinding yang bergelembung dan atapnya yang meneteskan air.

Aku mengetuk pintu kamar Nena dan Lia. "Ada Baba Sheriff di depan ya. Pake jilbab kalau keluar."

"Iya, Kak!" teriak Lia.

Lalu aku berdiri di belakang Baba Sheriff. Ternyata kalau dilihat-lihat, aku hanya setengahnya Baba Sheriff. Meskipun sudah menjelang 50 tahun, tubuhnya masih segar dan bahunya tegap. Kalau dipikir-pikir, kenapa dia tidak melawan ketika Bron menghajarnya? Padahal aku yakin Baba Sheriff sangat bisa untuk itu. Jika Ghibran disandingkan dengan Bron, ya pasti kalah. Kami hanyalah orang Asia yang memiliki tubuh ringkih.

"Oh iya, Jihan. Apa jendela kamarmu ingin dipasangkan kunci slot tambahan?" tanya Baba Sheriff.

Tubuhku menegang, karena terkejut melihatnya dengan seenak kepalanya mendorong pintu kamarku yang sedikit terbuka. Bukan hanya itu, dia masuk ke dalam juga.

"Tidak usah, Baba," sahutku.

"Harus dipasang, Jihan. Saya khawatir jendelanya bisa dibuka kalau ada yang menyusup ke dalam. Sepertinya perbaikan kamar mandi diperkirakan sampai besok. Besok saya akan pasang kunci tambahan pada kamarmu, dan kamar-kamar lainnya," terangnya.

"Memangnya kenapa, Baba? Bukankah kalau ada orang yang ingin menyelusup masuk, dia akan kesulitan menggapai jendela pada lantai tiga?" tanyaku.

"Kita tidak pernah tahu, Jihan. Buktinya Bron bisa masuk ke jendela Ningsih dari atap menuju lantai enam."

"Apa Baba tahu kenapa Bron dibebaskan?"

Dia mengedikkan bahunya seraya memajukan bibir bawahnya. "Saya tidak tahu menahu soal itu. Bisa saja kakaknya yang sering mondar-mandir itu telah menebusnya. Saya juga tidak tahu, dia itu kakaknya, atau kerabatnya. Polisi tidak memberitahu saya apa pun. Walaupun saya menanyakannya pun, saya yakin polisi tidak akan membuka mulutnya."

Aku hanya mengangguk saja menanggapinya. Namun di benakku mengambil kesimpulan. Kalau apa yang diceritakan Mikail lewat mulut Ghibran bahwa jenazahnya Ningsih diautopsi untuk menyelidiki DNA-nya jabang bayi yang ada di perutnya Ningsih, itu artinya Bron telah terbukti tidak bersalah.

Makanya dia dibebaskan dan hukumannya hanya karena dia melakukan kekerasan terhadap Baba Sheriff. Setahuku tebusan untuk kejahatan tersebut tergolong ringan.

Jadi siapa pelaku pemerkosa Ningsih?

***

Berkali-kali aku menguap ketika satu persatu perwakilan tiap majalah mengajukan idenya. Setiap orang ditanya, "bagaimana solusi Anda untuk kemajuan dunia jurnalistik atau kepenulisan masisir?"

Haduh, aku belum memikirkannya lagi. Pikiranku malah menerawang kejadian tadi sewaktu aku hampir saja menabrak seorang Negro yang tinggi dan besar di tangga lantai dua. Itu Bron, iya Bron! Ini akibat aku pergi ke sini tadi dengan tergesa-gesa. Iya, Bron! Tubuhku menegang! Tanpa sadar, aku menggigil.

Apartemen Sebelas (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang