24. Pembakaran di Malam Hari

52 15 3
                                    

Beginilah nasib sebagai anak di perantauan. Kita tidak bisa mendampingi ketika orang tua sakit. Ingin rasanya terbang ke Indonesia, tapi tidak semudah itu. Untuk pengeluaran sehari-hari saja, aku harus menghitungnya baik-baik.

Tidak ada jawaban kembali dari Kiki. Sebaiknya aku akan menelepon rumah jika sudah ada kabar kembali dari Kiki. Aku sudah berusaha mengirim pesan kepada Ayah, tapi tidak kunjung mendapat jawaban. Pasti Ayah sedang panik. Firasat burukku mengatakan bahwa ada sesuatu yang membebani Ibu sehingga kesehatannya memburuk.

Sampai aku tidak tahu bagaimana caraku untuk pulang ke apartemen. Sepertinya tadi aku mendengar suara klakson mobil berteriak di telingaku. Lalu teriakan panik dari Vina disertai tarikan pada lenganku. Ah, sepertinya aku hampir tertabrak sebuah mobil jika Vina tidak menarikku. Besok aku harus berterimakasih kepadanya.

Kalau tidak ada Vina, entah bagaimana ceritanya aku bisa duduk di bus yang kuyakini menuju Distrik 10. Semoga aku tidak salah menaiki bus dan malah menuju daerah Tabbah. Aku harus segera sadar! Lebih tepatnya, aku kembali masuk kepada kesadaranku saat membayangkan, bagaimana jika Vina tidak menolongku saat menyeberang? Aku pasti sudah terpental dan terguling-guling di atas aspal berlumuran darah. Seketika memori saat aku menemukan jasad Mbak Midah bergentayangan dalam benakku.

Dari situlah kesadaranku seratus persen pulih. Dan aku baru sadar ternyata ada malaikat lain yang membantuku menaiki bus jurusan Distrik 10. Siapa lagi kalau bukan putri cantik Akhbaruna, Siera.

"Makasih ya, udah nemenin pulang." Aku tersenyum kepadanya yang duduk di sampingku. Lalu saat aku melihat pemandangan pada jendela bus, aku baru menyadari bahwa sudah melewati daerah Bawabah.

"Lho kok kamu enggak turun?" tanyaku kepada Siera.

"Aku sengaja mau nganterin kamu, Han." Lantas dia berdiri saat sebentar lagi bus melewati daerah Gami.

Aku tidak bisa menghentikan kala Siera berteriak kepada sopir untuk berhenti di depan halte bus.

"Ra, aku bukan anak kecil yang harus dianterin. Lagian masih siang gini," ujarku. "BTW, makasih ya dan maaf udah ngerepotin kamu."

"Bukan masalah udah gede apa enggak, Han. Kamu bengong lho dari tadi. Untung Vina nemuin aku tadi di halte seberang kampus," kata Siera.

Tangan kananku yang menjawab dengan garukan ke kepala yang tidak gatal disertai dengan cengiran.

"Kamu lagi ada masalah, Han?" tanya Siera.

Haruskah aku bercerita kepadanya tentang kisah pilu seorang Jihan Zahrani? Aku yang tiba-tiba merasa penting sekali untuk pindah akibat menyaksikan beberapa penghuni gedung apartemen sebelas yang mati tidak wajar.

Belum lagi penusukan tadi malam. Ironisnya, di saat aku memutuskan untuk mengais harapan bahwa kedua orang tuaku akan mengirimku uang tambahan untuk pindahan—tak peduli dengan nyinyiran nyaring dari Kiki—dan aku malah mendapatkan kabar bahwa Ibu dirawat.

"Enggak ada apa-apa, Ra," sahutku.

"Selalu begitu." Terdengar decakan dari mulutnya. "Aku sama Ghibran tuh sampe gemas sama kamu yang enggak mau cerita."

Sepertinya aku harus meruntuhkan benteng yang selama ini menaungiku sedari tadi. "Ibuku masuk IGD, Ra."

Lalu tanpa mengucapkan kata-kata, air mataku luruh begitu saja. Harusnya aku menahan untuk tidak menangis. Apalagi kami sedang berjalan menyusuri jalanan Gami. Pasti akan ada—setidaknya beberapa—masisir yang melewati kami.

Namun bukankah hal yang wajar bagi seorang anak yang menangisi ketika mendapatkan kabar bahwa ibunya sedang sakit? Bahkan bayangan sewaktu-waktu aku bisa kehilangan Ibu tanpa berada di sisinya berkelabatan dalam benakku.

Apartemen Sebelas (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang