Aku merasakan cengkraman tangan Ghibran pada lenganku. Rintihannya membuatku sekujur tubuhku terasa ngilu. Sekarang posisiku sudah merosot ke bawah dengan kepala Ghibran berada di atas pangkuanku. Kami berada tepat di tengah jalan masuk dengan keadaan pintu terbuka lebar.
Kedua tanganku berusaha mencari kontak DKKM pada ponselku. Berkali-kali ponsel terjatuh, karena tanganku licin, penuh dengan keringat dingin. Belum lagi tanganku tidak bisa berhenti untuk bergetar.
Tidak, aku harus kuat! Aku harus melawan phobia ini. Aku menarik napas dalam-dalam dan meletakkan kepala Ghibran ke lantai dengan perlahan. Hampir saja aku terhuyung jatuh ketika berdiri, tetapi hatiku terus berteriak. Nyawa Ghibran yang menjadi taruhan.
Aku berlari ke kamar dan menarik handuk yang tergantung pada gantungan yang tergantung pada pintu lemari. Suara gantungan baju yang terjatuh terasa memekakan telinga, karena hanya suara itu yang terdengar selain suaraku yang berusaha menahan isak tangis.
Lalu aku berlari ke arah Ghibran. Aku mengangkat kepalanya dan memposisikannya di atas pangkuanku sambil menekan lukanya menggunakan handuk dengan kuat. Aku tidak tahu bahwa teknik ini berhasil menghentikan pendarahan atau aku semakin membuat Ghibran menderita.
Tidak hanya itu, tanganku menggapai ponsel yang tergeletak di sampingku. Aku kesulitan menekan tombol, karena tanganku satu lagi sedang menekan handuk ke kepala Ghibran. Setelah itu akhirnya aku berhasil menyambungkan panggilan kepada Ketua DKKM.
"Kak, tolong, ada orang yang dibacok kepalanya di apartemen saya."
***
Aku menatap datar ember yang berisikan baju dan jilbab dengan noda rembesan darah. Warna merah mulai mengubah air menjadi keruh. Seharusnya aku menuangkan deterjen supaya noda darah tidak sulit untuk dihilangkan. Namun aku hanya berjongkok di depan ember yang mulai menguarkan bau amis.
Bayangan kejadian tadi malam berkeliaran di kepalaku. Ketika Ketua DKKM beserta para masisir yang ditugaskan untuk ronda keliling Distrik 10, mereka langsung membopong tubuh Ghibran. Tadinya aku ingin ikut ke rumah sakit, tapi sepertinya mereka tidak memedulikan suaraku yang parau.
Ketua DKKM hanya menelepon Lia dan Nena agar segera pulang. Penglihatanku seakan mengabur saat rentetan kejadian tersebut. Sampai di mana aku berdiri sekarang.
Hari ini aku tidak berangkat ke kampus. Ada Ketua Wihdah PPMI di luar sana yang mengunjungi. Siera juga ada. Lalu terdengar suara ketukan pintu.
"Kak, lagi ngapain?" Itu suara Lia. Mungkin dia khawatir. Lebih tepatnya semua orang di luar sana.
Pasalnya, sejak Ketua DKKM dan orang-orang membawa Ghibran pergi ke rumah sakit, kedua mataku hanya menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong. Sesekali air mata menggenang di pelupuk mataku. Bahkan luruh ke kedua pipi. Namun tidak bersuara. Mulutku terkunci dan tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Saat ini pun aku seperti tidak mempunyai tenaga untuk menjawab panggilan Lia. Aku hanya segera mengambil botol deterjen di pojokan ruangan dan menuangkannya di atas ember. Sebelumnya aku membuang terlebih dahulu air yang sudah terkontaminasi dengan darah dan menggantinya dengan air baru.
Ketika keluar, mereka semua mengembuskan napas lega. Mereka pikir, aku ingin melakukan apa? Berusaha terjun dari jendela kamar mandi? Jendela hanya muat untuk mengeluarkan satu tangan. Menenggelamkan diri di dalam air? Hei, kamar mandi di sini menggunakan ember yang hanya memuat setengah tubuhku!
Lagi pula, segila-gilanya diriku, aku tahu bahwa mengakhiri hidup itu sakit. Jariku teriris pisau saja, kedua mataku berair. Sudah begitu, dosa pula.
Namun aku hanya tersenyum kepada mereka. Siera mengambil tanganku dan mengajakku duduk di atas sofa. Sofa ini hanya diduduki oleh orang yang bertamu ke sini. Sedangkan penghuni rumahnya, lebih nyaman beralaskan karpet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apartemen Sebelas (Proses Terbit)
Mystery / ThrillerJihan Zahrani dan teman-temannya di Majalah Akhbaruna kewalahan dengan banyaknya berita kriminal yang masuk pasca Revolusi Mesir. Dari perampokan berkedok polisi gadungan sampai penodongan di gang-gang sempit Distrik 10. Namun Jihan tidak menyangka...