9. Masa Krisis

69 19 4
                                    

Sembari merekap catatan keuangan, aku mendengarkan Ghibran membuka sidang redaksi. Dia menyampaikan catatan yang digarisbawahi oleh editor. Sementara aku masih saja berkutat dengan buku tulis yang kutaruh di atas meja, di antara gelas-gelas kaca berisikan berbagai macam jus.

Aku turut memasukkan pengeluaran hari ini. Dari menghitung jumlah gelas jus dan beberapa kantong ciki andalan saat sidang redaksi.

"Kak, untuk liputan selanjutnya tentang pelatihan bela diri oleh DKKM, saya saja yang ngeliput. Kebetulan Ketua DKKM juga anggota Tapak Suci. Acara itu kerjasama dengan Tapak Suci. Saya juga anggotanya juga," ujar salah satu kru.

"Oh iya, saya baru ingat. Ya udah nanti kamu sama saya saja yang meliput untuk pelatihan itu," sahut Ghibran.

"Jadi untuk edisi selanjutnya, aktualita diisi tentang pelatihan bela diri oleh DKKM. Laporan Khusus diisi tentang rencana PPMI bekerjasama dengan DKKM, katanya ingin diadakan ronda berkeliling Distrik 10. Untuk Suara Mayoritas, kita wawancara beberapa ketua kekeluargaan tentang respon mereka terhadap berita kriminal dan juga beberapa senior masisir. Nanti untuk wawancara KBRI, biar saya sama Jihan atau Siera." Lalu Ghibran membacakan kelompok untuk liputan yang selalu diacak setiap edisi.

"Jadi tema kali ini tetap kriminal, Kak?" tanya salah satu kru.

Ghibran mengangguk. "Tapi untuk rubrik sorot, kita isi dengan aktivitas masisir menjelang ujian. Juga di sela-sela wawancara ditanya respon mereka menghadapi ujian di tengah-tengah adanya berita kriminal yang meresahkan."

Setelah sidang redaksi selesai, azan magrib berkumandang. Aku menyelesaikan transaksi terlebih dahulu. Ghibran menungguku yang sedang sibuk merogoh uang dari amplop yang berada di dalam tas. Uang Akhbaruna sengaja aku taruh di amplop, supaya tidak tercampur dengan uang pribadi.

"Bran, udah aku pulang sendiri. Tinggal jalan aja. Deket. Lagian kamu pasti mau ke masjid dulu, kan?" kataku.

"Enggak, enggak. Kamu lupa sama kejadian malam itu?" Kedua bola mata Ghibran menyorot ke arah lapangan Suq Sayyaraat tepat di samping kedai jus.

"Ya, tapi kan kita enggak ngelewatin Suq Sayyaraat. By the way, tadi sebelum sidang redaksi, aku jalan sendirian, enggak apa-apa tuh. Tadi kan aku habis dari apartemen Siera sebelum ke sini."

"Sombong banget." Ghibran berdecih. "Tadi itu masih terang. Sekarang musim dingin. Jam segini aja udah kayak malam."

"Ya Allah, ya Rabbi! Jalanan Gami itu rame. Banyak toko yang masih buka. Udah, nanti kamu telat jama'ah. Udah iqomat tuh!"

"Awas aja kalau kamu kenapa-napa. Aku bakal ungkit kata-kata sombong kamu nanti."

Aku tergelak sembari mengikuti Ghibran dengan berjalan di belakangnya. Namun aku baru teringat kalau aku belum meminta Ghibran untuk menemaniku bertemu dengan Mbak Midah. Dia sudah masuk ke dalam masjid yang berada di ujung jalan masuk daerah Gami.

Ah, apa boleh buat? Aku menunggunya sembari memilih sarung tangan dan kaus kaki yang dijajakan di seberang masjid. Aku sering berbelanja untuk kebutuhan musim dingin, termasuk syal. Selain di sini, aku juga kerap membelinya di penjual kaki lima depan kampus.

Berbeda dengan Siera yang membelinya di Mal Sarag. Meskipun dia berkoar-koar bahwa harganya murah ketimbang mal lain. Harga mal tetap lebih mahal sampai kapan pun dari harga penjual kaki lima.

Ketika penghuni masjid telah berhamburan keluar, aku segera mencari sosok Ghibran. Aku menemukan sosoknya yang sedang memakai sepatu sneaker di antara beberapa jama'ah yang berdesakan di halaman masjid. Lalu dia menyisir rambutnya ke belakang.

Aku melambaikan tangan ke arahnya. Untung saja Ghibran melihatku. Dia berjalan menghampiriku dengan semringah.

"Tuh kan, takut jalan sendirian. Kenapa? Dikejar anjing?" Ghibran terkekeh.

Apartemen Sebelas (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang