17. Sekelebat Bayangan

57 16 8
                                    

Sekuat tenaga aku menopang tubuhku supaya tidak bergerak dan membuat Zain menghentikan aksinya. Aku harus merekamnya. Ya, ya, harus! Atau paling tidak, aku harus memotretnya. Supaya orang-orang tahu bahwa ada yang tidak beres dengan semua tetangga gedung apartemen sebelas.

Aku merogoh saku jaketku dengan tangan kiri. Tangan kananku sekuat tenaga berusaha agar kantong plastik yang kupegang tidak saling bergesekan.

Mati! Aku lupa menekan flash menjadi off pada kamera. Walhasil, Zain menengok ke arahku dan menunjuk ponsel yang kupegang.

"Kemarikan ponselmu!" sergahnya.

Buru-buru aku memasukkan ponselku ke dalam kantong jaket dan menarik ritsleting dengan cepat sampai aku merasa kulit telunjukku terkelupas akibat terjepit.

"Kamu mau merampas ponselku?" Aku balas menantangnya.

"Kamu tadi mengambil foto saya tanpa izin!" murkanya.

Wah, wah, dia malah playing victim.

"Kamu sendiri buat apa mengintip apartemen saya, huh?"

"Saya—saya ingin meminjam sesuatu tadi. Makanya saya sedang memastikan, apakah ada orang di dalam," kilahnya.

"Itu sangat tidak sopan. Kalau kamu ingin meminjam sesuatu, bukankah kamu cukup menekan bel? Seorang pria mengintip apartemen yang dihuni oleh para perempuan, apa itu bukan suatu tindakan yang mengerikan?"

Bagus, Jihan. Kamu malah menantang seorang pengintai. Kamu sedang menggali kuburanmu sendiri. Bravo!

"Berikan ponselmu!" hardiknya. Zain mencekal lenganku.

"Lepaskan saya!" pekikku. Aku menendang kakinya. Sepertinya kakinya terbuat dari baja dan dia sama sekali tidak gentar.

Setelah aku menjerit dengan keras sampai rasanya pita suaraku hampir putus, pintu apartemenku terbuka. Begitu pun pintu apartemen seberang dan muncul Balsam diikuti dengan pacarnya.

Ternyata bukan hanya Nena dan Lia yang keluar dari apartemen. Tapi ... kenapa ada Baba Sheriff?

"Ada apa ini, anakku, Jihan?" Baba Sheriff datang menghampiri kami yang membuat Zain melepas cekalannya.

"Dia mau mengambil ponsel saya, Baba," aduku.

"Dia memotretku tanpa izin!" Lagi-lagi Zain menyergah.

"Karena saya melihat dia mengintip ke dalam apartemen dari lubang pintu!" Aku merasa berang dengan tingkahnya.

"Wah, kenapa kamu berbuat seperti itu, Zain? Bukankah itu perbuatan kriminal?" Baba Sheriff memelotot Zain.

Zain malah tertawa sumbang. "Kamu sendiri sedang apa malam-malam keluar dari apartemen mereka?"

"Saya mengambil palu yang tertinggal di dalam. Saya membutuhkannya untuk memasang pigura. Tanya saja kepada mereka." Baba Sheriff menunjuk Lia dan Nena, lalu dibalas anggukan oleh keduanya.

"Bukankah hal yang wajar sebagai pemilik apartemen untuk memeriksa apartemen yang dimilikinya? Saya juga akan sesekali memeriksa kerusakan pada apartemen yang kamu tempati," lanjut Baba Sheriff.

Samar-samar kami semua mendengar suara orang turun dari tangga atas. Kami semua sontak menengok ke arah tangga. Lengkap sudah. Ada Bron yang menatap heran kepada kami.

"Apalagi banyaknya kejadian kriminal di gedung ini, sudah sewajarnya kalau saya peduli dengan mereka. Mereka pelajar yang baik-baik. Jadi tolong jangan ada yang mengganggu mereka." Suara Baba Sheriff meninggi dan menekan setiap kalimatnya seolah ditujukan kepada Bron.

Namun Bron melenggang begitu saja melewati kami tanpa beban. Kemudian Balsam menarik lengan Zain, dan mereka bertiga masuk begitu saja ke dalam.

"Terima kasih, Baba," ucapku.

Apartemen Sebelas (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang