2. Tetangga yang Aneh

132 21 3
                                    

Aku paling lemah yang namanya melihat darah. Jangankan darah manusia. Ketika Ayah memintaku untuk memegang kepala ayam saat menyembelih, aku menolaknya mentah-mentah.

Makanya saat terjadi peristiwa nahas di Distrik 4, yaitu pembantaian masal para pendemo pendukung Mursi, aku enggan membuka sosial media. Facebook dan Twitter dipenuhi gambar genangan darah seakan habis terjadi penyembelihan kurban masal di depan Masjid Robiah Al-Adawiyah. Bukan, itu darah manusia yang ditembaki membabi buta dari udara.

Kejadian itu membuat seluruh Kota Nasr dalam keadaan mencekam. Aku tidak bisa membayangkan orang yang terjebak di dalam apartemen di Distrik 4 ketika itu.

Intinya, aku sepertinya jarang melihat kejadian mengerikan seperti ini tepat di depan kepalaku. Pemandangan Ningsih tergeletak di atas jalanan itu akan menghantuiku dalam waktu yang lama. Aku yakin itu.

"Ini, minum dulu." Ghibran menyodorkan sebotol air mineral. Napasnya terengah-engah. "Sori, lama. Ammu penjaga tokonya ternyata ikut ngumpul di situ. Makanya enggak bisa bayar tadi."

Aku melihat pria-pria yang berkerumun di seberangku. Dilihat dari pakaian gamisnya dan kain yang melilit pada kepala mereka, sepertinya mereka para penjual di toko sekitar. Sekarang mereka mulai meninggalkan tempat kejadian.

Namun saat aku mendongak ke atas, terlihat beberapa orang menjulurkan kepala mereka dari arah balkon apartemen masing-masing. Mungkin ada orang yang melewati kerumunan tadi berlari ke apartemennya dan menyebarkan berita ini ke orang-orang di gedungnya.

"Makasih ya. Gimana nih, Bran. Kalau aku jalan masuk ke dalam gedung, nanti kelihatan lagi pemandangan itu. Aduh, ini perut udah mual."

Ghibran melepas jaketnya. "Tutupin kepalanya pake itu. Aku anterin sampe depan pintu. Aku juga mau nelepon ketua PPMI, biar KBRI ke sini."

Aku dan Ghibran berjalan melewati jasad yang sudah tak bernyawa itu. Walaupun Ghibran mengabarkan bahwa tubuh Ningsih yang bersimbah darah sudah ditutupi dengan kardus oleh salah satu pria yang berkerumun tadi. Namun darahnya pasti masih berserakan di sekitarnya. Apalagi sudah tidak ada orang yang berkerumun.

Untungnya Ghibran dengan sengaja menutupi dengan tubuhnya supaya aku tidak sedikit pun terlihat pemandangan mengerikan itu. Dia benar-benar bisa diandalkan.

Ketika kami baru saja menaiki tangga di lantai bawah, seorang pria berumur hampir setengah abad berjalan menuruni tangga. Kumis dan janggutnya yang menutupi bagian bawah wajahnya membuatnya tampak sangar. Namun saat senyuman terbit di kedua bibirnya, semua orang yang mengenalnya tahu bahwa pria tersebut adalah orang yang baik.

Akan tetapi sekarang aku melihat ada kerutan di dahinya. Dia pun hampir tidak menyadari keberadaan kami.

"Assalamualaik, ya Baba," sapaku.

Namanya Sheriff. Dia pemilik sebagian besar rumah apartemen di gedung ini. Termasuk apartemenku dan yang ditempati oleh Ningsih. Aku dan teman-teman satu apartemen kerap memanggilnya dengan sebutan Baba. Beliau pernah bilang kalau kami mengingatkannya kepada anak perempuannya yang sedang merantau di luar kota.

"Waalaikumussalam, ya Jihan. Aku baru saja dari apartemenmu. Aku meminta Lia untuk menelepon KBRI. Polisi dan ambulans akan segera ke sini," jawabnya.

Oh, pantas saja orang-orang tadi segera pergi. Mereka takut polisi akan segera datang dan dituduh terlibat. Salah berbicara di depan polisi, mereka bisa dijebloskan ke dalam penjara.

"Aku sangat terkejut, karena tadi aku berada di dalam apartemen dan terdengar keributan. Aku turun ke bawah dan segera menelepon polisi beserta ambulans. Lalu aku segera naik ke atas untuk ke apartemenmu," lanjutnya.

Apartemen Sebelas (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang