Kedua mataku terbuka dan terkejut bukan main. Siapa yang memindahkanku ke ruang tengah? Perasaan tadi aku tidur di kamar. Lalu aku mencari ponselku yang ternyata tertindih tubuhku.
Hah? Jam tiga sore? Bukannya aku belajar terlebih dahulu sebelum tidur, terus aku melihat orang aneh yang membakar sampah di belakang gedung apartemen.
Aku tersentak saat mendengar suara pintu kamar mandi terbuka.
"Lho, udah bangun?" Ternyata Siera.
"Kamu tidur udah kayak orang mati. Tadinya aku mau pulang, tapi kasihan kamu sendirian di sini. Sekalian nunggu sampe Lia dan Nena pulang," terangnya.
"Jadi aku tidur di tengah-tengah kita lagi ngobrol?" tanyaku.
Siera mengangguk. "Tadinya aku mau marah, tapi kasihan kamu lagi banyak pikiran kayaknya."
Dasar, Jihan! Aku sampai tidak bisa membedakan antara kenyataan dan mimpi. Please, jangan bilang kalau aku sudah gila! Aku hanya kurang tidur dan banyak pikiran. Wajar, kan?
Sepertinya aku tertidur saat mendapatkan pesan dari Kiki bahwa Ibu baik-baik saja dan akan lekas pulang dari rumah sakit. Lalu adegan aku membaca pesan itu berpindah ke alam mimpi.
Jelas saja terasa aneh. Masa sih ada orang yang diperbolehkan menuju ke lorong belakang gedung? Pasti daerah itu masih dalam penyelidikan polisi.
"Eh, pada ngajakin rapat di apartemennya Ghibran. Awan sama Dedet juga ke sana. Mau bicarain penutupan kegiatan sebelum ujian," ujar Siera.
"Ghibran udah baikan?" tanyaku.
"Lah, emangnya kalian enggak saling bertukar kabar?"
Aku hanya menyengir lebar. Memang sih aku dan Ghibran kerap kali bertukar pesan. Namun hanya sebatas info tentang Akhbaruna. Dan ... dia menanyakan kabarku. Ah, teman macam apa aku tidak pernah menanyakan kabar kepada orang yang bertaruh nyawa untuk menyelamatkanku?
Apa aku membelikan buah untuknya? Buah strawberry setengah kilo cukup mungkin ya? Kalau di Indonesia, orang membawa buah tersebut terasa mewah. Namun di sini, terutama di musim dingin, terlihat seperti membawa buah pepaya jika disamakan di Jakarta.
Padahal aku hanya membawa buah strawberry. Bukan hanya itu sih, aku juga membawa camilan lainnya. Hanya strawberry dari uangku. Lainnya berasal dari uang kas Akhbaruna. Awan dan Dedet sudah berprasangka yang aneh-aneh.
"Biasanya camilan cuma jus Juhayna sama syibsi. Kalau enggak wafer yang cokelatnya tipis. Tumben bawa buah sekarang," cibir Awan.
"Udah deh. Mendingan kita langsung rapat," selaku.
"Sori ya, jadi rapat di sini," kata Ghibran.
"Santai. Bentar lagi ujian. Enggak usah diforsir, Bran," ujar Siera.
Kami pun membicarakan tentang evaluasi selama setengah tahun kami menjabat sebagai pengurus Akhbaruna. Dari tulisan kru, kinerja, sekolah menulis, dan lainnya. Kami berencana untuk tidak menerbitkan edisi di bulan selanjutnya, supaya kami fokus dengan ujian.
"Oh iya, denger-denger katanya di Distrik 10 ditemuin mayat orang Mesir di belakang gedung apartemen. Beneran itu?" tanya Dedet.
"Itu di belakang gedungnya si Jihan," tunjuk Siera kepadaku.
"Serius?!" seru Awan.
Aku hanya menggaruk tengkukku di balik jilbab.
"Tadi juga ada kejadian aneh—"
Lalu Siera tidak melanjutkan perkataannya saat aku menggeleng pelan sambil menatapnya.
"Kejadian apa, Ra? Jangan-jangan, kejadian yang sama kayak waktu itu Jihan nangis-nangis nelepon kita?" cecar Ghibran. Setelah itu dia menatapku tajam seolah tidak memberiku izin untuk berkomentar dan menghentikan Siera untuk bercerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apartemen Sebelas (Proses Terbit)
Mystery / ThrillerJihan Zahrani dan teman-temannya di Majalah Akhbaruna kewalahan dengan banyaknya berita kriminal yang masuk pasca Revolusi Mesir. Dari perampokan berkedok polisi gadungan sampai penodongan di gang-gang sempit Distrik 10. Namun Jihan tidak menyangka...