"Han! Han! Buka pintunya!"
Aku segera bangkit saat mendengar suara Ghibran sambil menggedor pintu. Selama sepuluh menit aku hanya menangis sambil duduk di atas karpet ruang tengah sembari memegang erat gagang sapu.
Saat aku membuka pintu, aku segera menghambur ke pelukan Siera yang berada di samping Ghibran. Siera mengelus punggungku untuk menenangkan tubuhku yang masih bergetar hingga kini. Dia membimbingku masuk ke dalam ruang tengah.
"Kamu kenapa, Han?" tanya Siera sembari memasukkan beberapa helai rambutku yang keluar dari mukena yang kukenakan. Aku yakin bentuknya sudah tak keruan. "Tadi baru aja aku baru ketemu Ghibran di depan konsuler. Kita kaget pas denger suara kamu nangis."
Namun aku enggan mengucapkan sepatah kata pun. Kedua bibirku membeku. Aku ingin bercerita, tapi aku tahu ke mana arah solusinya. Pindah.
Memang semudah itu orang menyarankanku untuk pindah. Akan tetapi sebenarnya opsi itu akhir-akhir ini mulai kupertimbangkan. Tentu saja kalau aku menemukan apartemen kosong yang harganya semurah apartemen ini. Namun kalau misalkan di gedung apartemen yang baru nanti penghuninya sakit jiwa seperti di sini, bagaimana? Ini sama saja seperti lepas dari kandang harimau, masuk ke kandang singa.
"Apa kita enggak usah ke konsuler?" usul Ghibran.
Aku menggeleng kuat-kuat. "Kita ke konsuler aja. Tapi aku ganti baju sama salat dulu."
"Ayo, aku temenin," ajak Siera.
"Aku mau wudu di wastafel dapur. Soalnya kamar mandinya baru dipasang keramik. Aku tutup ya pintu dapurnya," ujarku.
"Apa aku nunggu di konsuler aja?" Ghibran segera berdiri.
"Enggak usah! Kita berangkat bareng-bareng aja," seruku.
Justru dengan adanya Ghibran, aku lebih tenang. Setidaknya tetangga mesum itu tidak akan berani mengintip kalau di dalamnya ada seorang pria.
"Apa mau salat di apartemenku?" kata Siera.
"Enggak usah, Ra. Biar enggak telat ke konsulernya."
***
Selama di perjalanan menuju konsuler, Siera dan Ghibran saling melemparkan pandangan. Aku tahu mereka ingin sekali menanyakan, apa gerangan yang menimpaku tadi? Namun mereka merasa sungkan, karena sedari tadi aku mengunci mulutku. Hanya saat bersin saja mulutku terbuka. Ini sih akibat udara dingin yang berembus menusuk-nusuk hidung kala angin datang.
Mungkin jika aku tidak menceritakannya, mereka akan berasumsi kalau aku sehabis melihat setan. Ya, sepertinya jika aku bercerita kalau tadi aku bertemu dengan setan dan aku dituduh berhalusinasi, aku masih terima. Namun jika aku menceritakan bahwa ada orang yang mengintipku ketika aku sedang berganti pakaian dan direspon seperti itu, aku bisa kehilangan kepercayaan kepada mereka. Buktinya Ghibran pernah menuduhku terlalu paranoid sebelumnya. Aku jadi takut bercerita karena itu.
Aku yakin tidak berhalusinasi. Benar! Bahkan kejadian orang yang mengintip lewat lubang pintu, ada saksi matanya, yaitu Nena dan Lia. Atau sekalian saja kalau memang aku berhalusinasi, silakan tamparan pipi ini.
Siapa tahu aku terbangun dari mimpiku. Tidak pernah ada kasus pemerkosaan. Ningsih dan Mbak Midah masih hidup. Lalu aku bertemu dengan mereka di tangga gedung apartemen. Aku tidak berurusan dengan Zain dan antek-anteknya. Bron cuma berandalan yang suka merokok di atap gedung dan tidak terpikir baginya untuk melakukan tindakan asusila.
Yup, aku sudah menampar pipi sebelah kiriku. Aku tetap berjalan menuju konsuler bersama Siera dan Ghibran. Aku memeriksa ponselku. Waktu dan tanggalnya tidak berubah. Ternyata aku tidak kembali ke masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apartemen Sebelas (Proses Terbit)
Mystery / ThrillerJihan Zahrani dan teman-temannya di Majalah Akhbaruna kewalahan dengan banyaknya berita kriminal yang masuk pasca Revolusi Mesir. Dari perampokan berkedok polisi gadungan sampai penodongan di gang-gang sempit Distrik 10. Namun Jihan tidak menyangka...