"Kita tidak bisa meminta polisi untuk menahan Sheriff selama dia tidak melakukan tindak kriminal lagi." Begitulah tanggapan Pak Edwin yang keluar melalui mulut Ghibran. Sebelumnya Ghibran mendatangi Pak Edwin di KBRI dan menceritakan pertemuanku dengan Sheriff.
"Terus harus celaka dulu, baru ditindaklanjuti?!" geram Siera.
"Pokoknya kamu enggak boleh ke mana-mana sendirian ya, Han. Siera, Jihan, kalian harus telepon aku kalau butuh pertolongan," tegas Ghibran.
Aku hanya terdiam sembari mengaduk es teh di hadapanku. Rasanya aku muak dengan peraturan yang dituturkan oleh Ghibran. Lama-lama aku ingin mencolok semua mata yang menatapku iba setiap kali mendatangi restauran makanan Indonesia. Apalagi acara perkumpulan masisir.
Sampai saat malam hari, aku kembali bermimpi terbangun di apartemen lamaku. Seringaian Sheriff saat melecehkanku terus membayangi pikiranku.
Jika hukum negara tidak bisa berlaku adil, maka biar aku saja yang membereskannya. Kebebasanku direnggut begitu saja. Mimpi buruk terus menghantuiku. Aku juga kehilangan kesempatan untuk lulus kuliah tepat waktu.
Keesokan harinya, sepulang kuliah, aku mendatangi toko peralatan rumah tangga di Gami. Aku memilih pisau besar yang harganya terjangkau, yang penting tajam. Tadinya aku ingin membawa salah satu pisau di dapur. Namun aku teringat bahwa pasca Revolusi Mesir, sebelum masuk kampus semua mahasiswa diperiksa isi tasnya. Pihak kampus tidak menginginkan terjadi bentrok pengaruh Revolusi Mesir di kawasan universitas.
Setelah itu, aku menyimpannya dalam ranselku. Aku tidak langsung pulang ke apartemen. Namun aku berjalan dari daerah Gami menuju Bawabah. Tadinya aku ingin menunggu langit menggelap untuk beraksi. Akan tetapi aku butuh menyelidiki tempat tinggal Sheriff.
Makanya aku berputar-putar di daerah Bawabah selama berjam-jam. Tanpa sengaja, saat aku melewati gang sempit antara Bawabah tiga dan dua, aku merasa ada seseorang mengikutiku.
Dari suara langkah yang diseret, aku bisa menduga bahwa dia adalah orang yang kucari. Aku membalikkan tubuh ke belakang dan mendapati Sheriff yang langkahnya terseok berjalan mendekatiku.
"Tenang, Jihan. Saya tadi tidak sengaja melihatmu. Saya datang bukan untuk menyakitimu. Justru saya ingin berdamai. Bagaimana jika kita mulai dengan berjabat tangan?" Sheriff menyunggingkan senyuman, tetapi aku tidak melihat ketulusan darinya.
Tanpa pikir panjang, aku mengeluarkan pisau di dalam ranselku yang masih terbungkus plastik. Pasti Sheriff akan sulit untuk mengelak akibat kakinya yang pincang. Aku yakin bisa menumbangkan tubuh besarnya.
Namun di saat aku ingin menyerangnya, tiba-tiba ada seorang wanita datang dari belakang gedung apartemen seberangku. Jalannya bagaikan kilat. Lalu setelah dia tiba di belakang Sheriff, seketika Sheriff tersungkur. Aku melihat sebuah pisau tertancap pada punggungnya.
Ketika aku mendongak, wanita itu menatapku. Meski rambut dan wajahnya berusaha ditutupi oleh kain panjang, tetapi angin menyibak kain tersebut hingga hampir terlepas.
"Balsam?" panggilku.
Namun secara mendadak pandanganku mengabur. Saat aku membuka kedua mataku, pandanganku menabrak dinding kamar tidurku. Aku menoleh dan mendapati Siera tertidur nyenyak di atas kasur.
Aku melihat sajadah yang masih terbentang. Lalu bawahan mukena yang masih kukenakan. Aku teringat bahwa sebelumnya aku terbangun, karena mimpi buruk. Ternyata usai salat tahajud, aku tertidur kembali.
Sepertinya aku sudah gila sampai bermimpi untuk membunuh Sheriff. Aku tahu bahwa berkali-kali pikiran itu terlintas dalam benakku, tetapi apakah aku mempunyai nyali untuk itu? Selain itu, aku tahu membunuh itu dosa. Ya, aku sangat sadar. Aku tidak segila itu. Iya, aku tidak gila kok. Walaupun terkadang aku semakin susah membedakan mana mimpi dan mana kenyataan. Kerap kali aku terbangun dalam mimpi, hingga aku benar-benar terbangun di alam nyata.
Lalu kenapa aku bermimpi Balsam membunuh Sheriff? Dari setiap mimpi burukku, baru kali ini berbeda.
Namun aku tercengang saat ternyata mimpiku menjadi kenyataan. Setidaknya aku menganggap ini nyata, karena aku berkali-kali menampar kedua pipiku. Sakit. Bahkan lebih ekstrem lagi, aku berusaha menggoreskan ujung telunjukku dengan pisau. Darah menetes dan sakit. Ini bukan mimpi.
***
Al-Ahram
Berita-Berita
Pembunuhan Pelaku Penganiayaan Mahasiswa Indonesia oleh Seorang Wanita.
Seorang wanita berinisial BT menikam seorang pria—pelaku yang sebelumnya didakwa melakukan penganiayaan beberapa mahasiswa Indonesia—di gang sempit Distrik 10. Salah satu warga melihat pria tersebut tergeletak dekat semak-semak dengan luka tusukan sebanyak sepuluh kali.
Warga yang menemukan korban merupakan saksi mata, dan dia tinggal di apartemen dekat kejadian pembunuhan. Secara kebetulan, saksi tersebut sedang merokok pada tengah malam di balkon apartemennya. Saksi tersebut segera menghubungi polisi.
Kata Kunci: Pembunuhan - Pelaku Penganiayaan - Mahasiswa Indonesia
Baca juga:
-Polisi menggerebek para kelompok Ikhwanul Muslimin di Mukattam.
-Mursi diminta pertanggungjawaban atas kematian para demonstran di Rabiah Adawiyah.
***
Halo, semuanya! Terima kasih sudah membaca cerita ini sampai akhir. Tunggu karyaku selanjutnya ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apartemen Sebelas (Proses Terbit)
Misteri / ThrillerJihan Zahrani dan teman-temannya di Majalah Akhbaruna kewalahan dengan banyaknya berita kriminal yang masuk pasca Revolusi Mesir. Dari perampokan berkedok polisi gadungan sampai penodongan di gang-gang sempit Distrik 10. Namun Jihan tidak menyangka...