12. Pertemuan yang Tidak Terduga

59 17 3
                                    

Salah satu kakiku berusaha turun dari kursi. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menopang tubuhku yang bergetar hebat. Jantungku berpacu seperti sedang mengendarai kuda.

Lalu terdengar kembali suara bel ditekan dengan pelan. Seakan belum puas menakutiku, sang pengintai mengetuk pintu dengan pelan. Rasanya aku ingin menangis.

Namun aku tersentak kala mendengar suara deritan pintu kamar dibuka. Aku segera berjalan ke arah Nena yang sedang menguap sembari membuka pintu kamarnya.

"Kena—" Aku segera membekap mulutnya. Lalu membisikkan tepat ke telinganya. "Ada yang ngintip."

Nena menarikku ke dalam kamarnya. Aku bisa merasakan tangannya yang tiba-tiba berair dan bergetar.

"Siapa, Kak?" bisiknya.

Aku menggelengkan kepala. Nena menjambak rambutnya frustasi. Aku menggigit bibir bawahku.

"Kamu mau ngapain?" tanyaku saat melihat Nena sedang membuka ponselnya.

"Mau nelepon Baba Sheriff. Minta tolong sama dia." Semua suara kami benar-benar dipelankan sebisa mungkin.

Suara bel sudah tidak terdengar kembali. Namun pastinya kami masih was-was kalau si pengintai masih berkeliaran.

"Kalau Baba Sheriff kenapa-napa nanti gimana? Kalau yang ngintip kita orangnya besar, gimana?" cecarku.

"Terus gimana, Kak?" sahut Nena frustasi.

"Ada apa sih? Kok pada bisik-bisik?" sungut Lia yang menyingkap selimut membaluti tubuhnya.

"Ssstttttttt!" Aku dan Nena kompak menengok ke arahnya.

"Ih, kenapa sih kayak gitu? Ada setan ya? Kalian jangan bikin aku takut!"

Nena segera membekap mulut kecil Lia. Meskipun kecil, tetapi suara yang keluar dari mulutnya terkadang mengalahkan suara pengeras masjid.

"Aku coba lihat ke depan ya. Kalau masih ada, kita coba telepon Baba Sheriff. Dan minta dia jangan ke atas sendirian juga," cetusku.

Nena mengangguk. Sementara Lia yang mulutnya masih dibekap, dia mulai memberontak. Kami berdua memutuskan untuk tidak menceritakannya terlebih dahulu kepada Lia. Kami khawatir Lia akan histeris saat tahu ada yang mengintai apartemen kami.

Aku membuka pintu dengan gerakan yang sangat pelan. Lalu aku menghela napas ketika pintu tidak mengeluarkan suara deritan. Kemudian aku berjingkat menuju pintu. Aku juga sangat memperhatikan setiap langkahku. Jangan sampai aku menabrak sesuatu yang menimbulkan bunyi dan memancing si pengintai.

Sebelum melihat ke arah lubang, aku berkali-kali mengucapkan istigfar dalam hati. Lalu sebuah jari mengetuk pundakku. Aku hampir terjengkang ke belakang.

"Gimana, Kak?" tanya Nena tanpa mengeluarkan suara.

"Udah enggak ada," bisikku.

Nena mengembuskan napas lega dan menyeret Lia untuk masuk ke dalam kamar untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya.

Faktanya memang sudah tidak ada lagi yang mengintip. Namun aku berbohong satu hal kepada Nena dan Lia. Saat aku melihat ke lubang pintu, aku melihat Zain di depan apartemennya dalam keadaan pintu terbuka. Dan ... tatapan kedua matanya mengarah ke pintu apartemen kami.

***

Aku sampai lupa dan mengabaikan pesan yang masuk semenjak dari Masjid As-Salam. Sudah batinku terguncang akibat kematian Mbak Midah. Semalam dihantui oleh si pengintai.

Ghibran: Jangan lupa, besok jam sepuluh pagi kita ada wawancara sama dubes.

Oleh karena itu, setelah turun dari bus dan sampai di halte kampus. Aku segera mencari bus jurusan Ramsis. Ternyata Siera sudah meneleponku berkali-kali saat aku sedang di dalam bus.

Apartemen Sebelas (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang