34. Pulang untuk Kembali

56 16 6
                                    

Satu yang tidak pernah kami prediksi. Orang yang sudah melakukan tindak kejahatan sejak lama bahkan direncanakan secara matang, pastinya orang tersebut adalah tipe yang penuh perhitungan.

Saat Baba Sheriff membuka pintu, dia menarik lenganku dengan cepat. Dia membalikkan tubuhku. Aku didekapnya dengan kuat dan aku merasakan moncong pistol pada pelipisku. Napasku tidak beraturan akibat tangan kekarnya yang terasa semakin mencekik leherku.

Polisi yang berada beberapa meter di kananku mencondongkan pistol masing-masing.

Baba Sheriff tertawa nyaring. "Kalian diam di tempat kalau tidak ingin peluru menerobos kepala gadis ini."

Lalu Baba Sheriff menyeretku untuk berjalan menaiki tangga. Ah, kenapa tidak ada polisi yang berjaga di sebelah kiriku untuk menghalangi pria sialan ini menaiki tangga? Apakah ini akhir riwayatku? Apakah polisi memiliki rencana lain?

Aku harus berjalan mengikuti pria jahannam ini. Kalau tidak, dia akan tetap menyeretku seperti induk kucing membawa bayinya. Leherku bisa putus.

Satu yang Baba Sheriff tidak ketahui. Saat di apartemen Balsam, aku melihat isi pisau cutter yang sudah terpotong dan karatan. Namun ujungnya masih tajam. Aku menggenggamnya dengan erat di balik kepalan tangan kananku.

Ketika Baba Sheriff tidak menarik kembali pelatuk pada pistolnya—karena dia merasa polisi tidak mengikutinya—aku menancapkan pisau cutter tersebut pada punggung tangannya.

"Arrrgghh!" pekiknya.

Pistolnya terlempar. Aku segera melompat dan mengambil pistol tersebut sampai aku merasakan perih pada kedua telapak tanganku yang tergores butiran pasir pada lantai. Tubuhku tersungkur.

Ah, sial! Aku merasakan nyeri pada punggung tanganku. Meski Baba Sheriff hanya memakai sandal, punggung tanganku terasa seperti ditimpa batu besar kala dia menginjaknya. Ditambah tekanan pada pistol di bawah tanganku.

Lalu dia mencabut pisau cutter yang menancap. Darah mengalir, tapi aku malah menikmatinya. Aku senang dia terluka. Bahkan aku bisa mendengar suara tawa nyaring yang bergema di dalam kepalaku.

Aku yang bisa membaca pergerakannya, segera menyingkirkan tanganku. Dan oh, tak kubiarkan pistol tersebut jatuh ke tangannya. Aku melemparnya ke ujung koridor.

Baba Sheriff berlari mengejar pistol tersebut. Aku yang masih dalam keadaan tersungkur berhasil menjegal kaki besarnya. Rasanya seperti menarik batang pohon besar.

Bunyi berdebam dari tubuh Baba Sheriff yang terhempas menandakan bahwa aku harus segera bangkit. Namun Baba Sheriff bergantian yang menjegal kakiku. Kali ini dia tidak berusaha mengambil pistol. Kedua tangan besarnya malah melingkari leherku.

Ini mirip seperti dalam mimpiku. Apakah ini mimpi juga? Namun kali ini aku bukan hanya merasakan sesak saja. Rasanya oksigen perlahan ingin meninggalkan ragaku. Dan dasar pria laknat dan mesum. Saat aku berusaha hampir mati, dia menggesekkan sesuatu di bawah sana dan merapatkannya pada tubuhku.

Pandanganku mengabur akibat air mata yang menggenang pada kedua mataku. Tiba-tiba aku menyesali keputusanku yang ingin menjadi pahlawan tanpa memperhitungkan kekuatan lawan. Padahal harusnya aku tahu bahwa polisi itu manusia, bukan Tuhan. Polisi bisa tidak berkutik hanya diancam balik dengan pistol.

Ketika aku sudah benar-benar sulit menggapai oksigen, tiba-tiba kedua tangan Baba Sheriff mengendur diiringi suara jeritan seorang wanita.

"Apa yang kamu lakukan!" pekik wanita tersebut.

Aku yang terkulai lemas sempat melihat wajah wanita yang turun dari lantai lima. Mungkin dia salah satu penghuni apartemen.

Di saat Baba Sheriff ingin menyerang wanita paruh baya yang menjerit itu, dengan sisa tenagaku, aku bangkit ke ujung koridor untuk mengambil pistol.

Apartemen Sebelas (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang