"Kamu bisa jamin kalau itu beritanya udah valid?" tanyaku kepada Ghibran.
"InsyaAllah valid. Mikail itu dekat dengan Pak Edwin, perwakilan KBRI untuk kasus Ningsih. Ada satu lokal staf selain Pak Edwin juga sih yang ngurus kasus ini. Dan aku dekat sama Mikail," jawab Ghibran seraya melahap nasi goreng yang telah dihidangkan.
"Nasi goreng lagi?" komentar Siera.
"Kamu kayak enggak tahu Pak Pemred kita. Di mana pun dia berada, nasi goreng sama es teh yang dipesan," kekehku.
"Emang apa yang aneh?" protes Ghibran.
"Nasi goreng kan bisa bikin sendiri. Ngapain ke math'am segala? Apalagi es teh. Lagi musim dingin gini minum es," balas Siera.
Aku hanya menggelengkan kepala sembari melahap ayam penyet selagi kepulan asap nasi hangat masih ada. Setelah melahap santapan, kami bertiga beranjak dari rumah makan.
"Aku anterin pulangnya satu-satu ya. Ra, kita jalan dulu ke Gami, baru habis itu aku anterin kamu," ucap Ghibran sembari dia memasukkan laptop ke dalam ranselnya.
"Eh, aku pake bus aja. Kamu anterin Jihan. Dia kan yang rumahnya masuk," tolak Siera.
"Ya, tapi tetep aja aku khawatir," sahut Ghibran.
"Gini aja deh." Aku berdeham dan menengahi mereka. "Kita naik bus ke Bawabah anterin Siera. Terus pulangnya kan sekalian kamu sama aku pulang."
"Ih, ribet. Lagian kenapa sih lebay banget?" protes Siera lagi.
"Eh, ini bukan lebay, Neng. Bukannya udah baca liputannya kru Akhbaruna soal kejahatan sekitar sini?" Ghibran memelotot.
"Ya udah, jadi gimana nih?" Aku bertolak pinggang. "Keburu malem. Mending pulang sendiri-sendiri aja kalau gitu."
Ghibran menatap Siera. Aku pun ikut menatapnya.
"Oke," sahutnya.
"Dari tadi kek, enggak usah pake drama," cibir Ghibran.
Aku memukulnya dengan buku keuangan yang kupegang. Setiap selesai rapat redaksi selalu begini. Ghibran sebagai ksatria yang melindungi dua wanita, harus memastikan keduanya dalam keadaan aman. Sedangkan Siera yang selalu sengaja membiarkan Ghibran mengantarkanku saja.
Akhirnya kami memutuskan untuk menaiki bus menuju Bawabah. Setelah mengantar Siera, aku dan Ghibran berjalan menuju Gami dengan berjalan kaki.
Selagi berjalan menyusuri trotoar Distrik 10, aku memperhatikan coretan bekas para demonstran yang masih tersisa di sisi beberapa dinding apartemen dan tembok jalanan. Tulisan-tulisan para demonstran yang geram dengan pemerintah. Bahkan para pendukung Mursi yang kontra dengan Sisi sampai menyamakannya WC.
Aku melirik jam pada pergelangan tangan. Sudah jam setengah sembilan. Suasananya sudah seperti jam sebelas malam ke atas. Hanya ada suara deruman knalpot mobil yang masih berlalu lalang di sepanjang jalan yang menjadi teman perjalanan kami.
Suasana ini akan berbanding terbalik ketika musim panas. Apalagi di malam bulan Ramadan. Masih ada beberapa anak yang bermain di sekitar lapangan Suq Sayyarat yang sedang kami lewati sekarang.
Juga kedai jus di sampingnya yang selalu dipenuhi oleh pengunjung. Namun sekarang hanya ada suara gonggongan anjing yang menyemarakkan keheningan jalan.
"Kenapa? Dingin?" tanya Ghibran yang melihatku sedang mengeratkan jaket.
"Ya, pasti dinginlah. Apalagi puncak musim dingin nanti. Kalau kita ngomong, bisa keluar asap kayak di drama Korea gitu." Aku menirukan gaya meniup yang membuat jalanan ramai dengan derai tawanya Ghibran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apartemen Sebelas (Proses Terbit)
Mystery / ThrillerJihan Zahrani dan teman-temannya di Majalah Akhbaruna kewalahan dengan banyaknya berita kriminal yang masuk pasca Revolusi Mesir. Dari perampokan berkedok polisi gadungan sampai penodongan di gang-gang sempit Distrik 10. Namun Jihan tidak menyangka...