4. Fakta Kasus Ningsih

89 19 4
                                    

Meski dalam keadaan panik, aku berusaha untuk berjalan ke kamar dengan pelan-pelan. Tubuhku bergetar hebat. Jantungku berdetak cepat. Kedua telapak tanganku mengeluarkan keringat. Padahal cuaca sedang dingin. Bahkan aku pun tidur menggunakan sweter.

Aku menutup semua jendela di rumah. Apalagi aku ingat bahwa pelaku kasusnya Ningsih masuk lewat jendela. Meskipun posisi apartemenku di lantai tiga. Rasanya mustahil ada orang yang nekat memanjat ke jendela, karena lantai tiga letaknya berada di tengah gedung.

Balkon apartemenku menghadap ke belakang, bukan jalan. Makanya aku semakin was-was. Balkon tetangga samping pun, meski jaraknya jauh, tetapi bukan tidak mungkin orang nekat melompat dari sana. Namun aku tidak terlalu mengenal tetangga samping apartemen. Hanya sesekali aku melihat seorang wanita tua keluar dari sana. Lalu seorang wanita muda yang sepertinya anaknya, terkadang datang mengunjunginya bersama suaminya.

Aku teringat dengan posisi apartemen Ningsih yang berada di lantai enam. Apartemennya menghadap ke belakang sepertiku. Jendelanya sangat dekat dengan atap apartemen paling atas. Orang Afrika yang tingginya menjulang itu sepertinya dengan mudah masuk melewati jendela dari atap. Tubuhku semakin bergetar mengingat hal itu.

Satu lantai apartemen berisikan empat rumah. Aku hanya sering melihat tetangga seberang, kakak-adik itu. Soalnya si perempuan bergaya punk itu sering marah bak orang kesurupan. Selain mereka, aku tidak terlalu tahu. Hanya Baba Sheriff yang kerap menyapaku dan teman-teman.

Aku segera mengirim pesan kepada Lia. Mungkin ada lima menit, dia baru menjawab.

Lia: Masih acara, Kak. Paling pulangnya habis asar, paling cepet. Kenapa, Kak?

Aku merasa canggung untuk meminta mereka pulang lebih cepat. Tidak lama kemudian, ada telepon masuk.

"Halo, assalamualaikum, Han. Udah dikasih tahu Siera kan nanti kumpul? Jangan lupa bawa buku keuangan ya. Buat hitung-hitungan penerbitan besok," ujar Ghibran.

"Waalaikumussalam. Iya, udah. Siap, Pak pemred." Kemudian aku teringat dengan keadaan mencekam sebelumnya. "Bran, kamu nanti berangkat dari mana?"

"Dari Musalas. Kenapa emangnya?"

Maunya sih bilang, "oh, kirain kamu lagi di Gami. Sekalian bareng." Aku yakin kalau aku mengatakan dengan jujur bahwa aku ketakutan keluar rumah, pasti Ghibran datang menjemputku. Ah, jangan ge-er, Jihan!

"Enggak apa-apa."

"Kenapa? Kamu takut dikejar anjing di gang sempit dari Gami ke Musalas?" Ghibran tergelak. "Kalau ada anjing, kamu telepon aku aja. Aku jemput. Daripada kamu jatuh lagi sampai rok kamu robek."

Asem banget si Ghibran. Jadi dulu aku pernah dikejar-kejar anjing. Ini gara-gara Siera yang tidak sengaja menginjak ekor anak anjing yang sedang tidur di bawah semak-semak. Sang ibu menyalak dan mengejar kami. Siera berhasil kabur, aku tersandung batu.

Untung saja ada orang Mesir yang membantu untuk mengusir anjing itu. Rok yang kupakai memang robek, tapi aku memakai celana panjang di dalamnya. Aku ingat sekali kalau Ghibran menahan tawa mati-matian setelah mendengar cerita itu.

Namun sekarang aku tidak bisa tertawa atau pura-pura ngambek akibat lelucon Ghibran. Aku masih was-was dengan orang yang mengintai di depan apartemen.

"Han? Han?" tegur Ghibran. "Kamu marah? Sori deh. Cuma bercanda."

"Enggak. Eh, sori aku lagi manasin air di dapur. Udah dulu ya."

Aku cuma bisa berdoa, orang itu sudah pergi. Meski sedikit menyesal kalau aku harus berbohong kepada Ghibran. Setelah menutup telepon, aku membuka dengan perlahan pintu kamarku. Lalu berjalan dengan memastikan tidak ada suara derap langkah yang bisa terdengar oleh orang luar.

Apartemen Sebelas (Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang